Langsung ke konten utama

Cerpen: “miiiisssiiimu…..”

Sumber: https://cms.www.countway.harvard.edu/wp/?p=9216

“miiiisssiiimu…..”


Bau anyir ruang bedah, suara tetes air yang berasal dari keran yang belum ditutup dengan sempurna, suara derap langkah, hiruk-pikuk para perawat dan cahaya mengkilap, pantulan dari benda-benda metal yang ada diruangan, adalah hal terakhir yang dapat Claudia rasakan tepat sebelum dirinya pergi ke tempat yang dia tahu tidak akan ada jalan untuk kembali, “Miiiisssiiimu…..” Terdengar bisikan sayu dari telinga yang sudah tidak mampu lagi mendengar, terlelap akhirnya

-

Setidaknya sudah dua dekade berlalu sejak deklarasi perang itu dikumandangkan ke seluruh penjuru negeri, pusat kota, daerah urban, bahkan pelosok negeri ikut riuh, dan larut dalam kekhawatiran akan terjadinya pertumpahan darah. Peperangan bukanlah hal yang sebenarnya dikehendaki oleh kedua belah pihak, namun hal tersebut dianggap penting apabila sudah menyangkut keamanan dan martabat negeri. Seperti apa yang telah dibayangkan, mayat bertebaran di seantero negeri, layaknya limbah rumah tangga yang berserakan ditinggalkan begitu saja di pojok-pojok jalanan kota, darah mengalir dan mewarnai sungai, danau, semua sumber air, hingga semuanya tenggelam dalam warna mencekam, merah darah.

Setelah rentetan pertempuran panjang yang melelahkan, dan menghabiskan tidak hanya nyawa, uang, sumberdaya, energi, tapi juga waktu. Dimulailah operasi-operasi rahasia guna menumpas musuh tanpa perlu melakukan perlawanan secara fisik, setidaknya secara tidak terlihat. Kedua belah pihak mulai melancarkan aksi-aksi kotor, mulai dari sabotase, penyamaran, hingga penyusupan, dan adu domba. Hal ini terbukti lebih ampuh dalam melumpuhkan musuh ketimbang mengerahkan seluruh angkatan bersenjata yang mereka punya untuk saling berkonfrontasi dalam medan perang. Lalu, dari perbuatan ini pulalah, terlahir banyak pengkhianatan, dan krisis kepercayaan terhadap sesama warga negara, juga terhadap para penguasa di pemerintahan. Mulailah dunia ini tenggelam dalam kekacauan yang sekali lagi diakibatkan oleh peperangan. 

-

Lonceng gereja kembali didentumkan pada pagi itu, hari itu matahari bersinar dengan terik, saking teriknya hingga terasa seperti jarum yang menusuk ke bawah permukaan kulit, dan ubun ubun, lonceng dibunyikan bukanlah tanpa alasan, melaikan sebagai suara pengumuman akan diadakannya penguburan masal untuk yang kesekian kalinya bagi para korban perang. Hari itu tak ada tawa terdengar, keceriaan seolah sirna, senyuman tiba-tiba menghilang, dan semua orang dirundung pilu akan kehilangan juga kepergian orang-orang yang mereka cinta.

-

“Sekarang hanyalah secarik kertas, surat wasiat yang tersisa dari riwayat hidup seorang wanita, sesosok ibu dan istri, Stephany belahan jiwaku. Dua puluh tahun lebih sudah kita membina rumah tangga mengarungi luasnya samudra kehidupan penuh dengan ombak ujian, menerjang badai perbedaan bahkan menghantam karang pertikaian, dan sekarang aku menjadi satu-satunya awak juga kapten di dalam bahtera kehidupan, yang sama-sama kita rajut selama ini. Jujur saja setelah kepergian Lamber untuk berpetualang menuju ketidak terbatasan, aku mulai merasa kesepian, ditambah sekarang Bapak juga memanggilmu untuk kembali menemani-Nya sebagai abdi dan pelayan-Nya di nirwana, hanya menambah berat beban pilu yang ada dalam palung hatiku. Ledakan itu tidak hanya membumihanguskan sekolah tempat kau mengajar, namun turut menghancurkan leburkan hatiku, duhai Stephany!!! Jiwa dan cintaku pun turut larut dalam bau daging yang terpangang, dan tertiup angin, juga rintikan hujan darah yang tersapu oleh guyuran hujan, yang kian membasahi bumi. Kebiadapan yang dipertontonkan di depan wajah polos masyarakat awam, yang hanya menjadi korban dari laga para penguasa, ini sebuah ketidak adilan. Kau tahu, ku tahu, dan kita tahu perang sebenarnya belum berakhir, hanya saja sudah tidak dipertontonkan secara gamblang. Ledakan ini bukanlah sebuah kecelakaan belaka, namun ini sabotase, perbuatan terror, bukti ketidak becusan pemerintah dalam mempertahankan kedamaian negeri kita, Stephany!!! Sekarang aku berdiri disini untuk membalaskan dendammu, dendam akan ketidak becusan mereka untuk mempertahankan hidupmu dan putra tercinta kita.”

-

Kekhidmatan tidak datang, dan mewarnai sepanjang prosesi penguburan masal yang dilakukan tepat di belakang gereja, panas, dan teriknya matahari tidak lagi diperdulikan para pelayat, air mata mereka yang semula menetes kini mulai menguap, dan berganti cuap-cuap bibir masyarakat tentang adanya sabotase, dan tindakan terror, juga kekecewaan akan ketidak becusan pemerintah mereka dalam mempertahankan diri dari perbuatan keji, dan kotor yang dilakukan musuh. Akhirnya pemakaman selesai dengan ditutupnya makam para korban dengan tanah merah, dan taburan bunga kamboja yang melambangkan kesucian nirwana, juga mawar yang melambangkan darah keluarga dan kerabat mereka yang tertumpah dalam ledakan. 

Namun segala perasaan sedih dan kekecewaan itu tak mampu bertahan lebih dari sehari semalam, ketakukan, dan kekhawatiran kembali menghantui mereka, akibat kembali terjadinya ledakan di depan gedung kantor pertahanan dalam negeri.

-

“Dan disinilah aku berdiri, Stephany. Tak sanggup kulihat, dan cermati lagi kata-kata mu dalam pesan terakhiru, sudah hilang kewarasanku dengan binasahnya rasa kasih dan cintaku, sekarang kan kubalaskan dendammu, kan kubawa, kuseret kalau perlu, mereka yang tak mampu menjaga, dan telah merenggut kehadiranmu dari sisiku, juga mereka yang telah menanamkan benih-benih kebencian dalam jiwaku, seperti menuangkan bensin kedalam kobaran api kesepian dalam hatiku setelah ditinggal putra tunggal kita. Dan disinilah aku berdiri sebagai orang yang akan menghakimi mereka, lalu kan kurebut kau kembali ke sisiku.”

-

Peranglah yang telah menghancurkan kewarasan masyarakat selama ini, menelanjangi diri mereka dari keberanian yang selama ini mereka kenakan untuk bertahan hidup, juga rasa simpati yang menjadi benang dan saling menghubungkan mereka satu sama lain. Setelah ledakan itu, hanya secarik kertas yang terbang bersama pesan pilu yang terdapat di dalamnya yang berbunyi;

“Mark, aku tahu kau selama ini mendambakan kehidupan damai denganku, dan Lambert, kau selalu pintar menyembunyikan rasa takutmu akan perang yang berkepanjangan, yang selama ini semua orang keluhkan. Kau mencoba kuat bagai karang yang tak bergeming diterpa ombak, namun ku tahu itu hanyalah kedokmu untuk membuat kami bahagia, dan hidup dalam kedamain, bukan kehidupan yang penuh dengan kekhawatiran apalagi terror seperti yang musuh negeri ini inginkan. Namun, Mark. Bukan hanya dirimu aku pun mempunyai kedok tersendiri. Kehidupan dalam damai yang selama ini kau impikan bersama Stephany dan Lambert tak akan penah terwujud dan datang dalam hidupmu, bukan karena aku tahu bahwa aku akan pergi, namun aku bukanlah orang yang akan kau tangisi kepergiannya, karena aku bukanlah Stephany mu, aku adalah Claudia. Dan itu adalah misiku.”

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen: Hasrat

Sesungguhnya manusia adalah mahluk paling tidak sempurna, bohong bila manusia dikatakan adalah mahluk yang paling sempurna, karena nyatanya banyak dari mereka yang sering merasa kekurangan dan terus meminta untuk lebih dan lebih, namun dengan penuh rasa kesombongan mereka mampu menyebut diri mereka sebagai mahluk paling sempurna. Bahkan di masa awal peradaban, nenek moyang dan para leluhur mereka berani menyebut diri sebagai homo sapiens sapiens atau manusia yang bijaksana, karena mereka merasa kurang puas hanya dengan menyebut diri mereka sebagai homo sapiens, yang sebenarnya juga merupakan nama pemberian mereka sendiri. Bahkan dalam peradaban yang bisa dibilang paling maju sekarang, dengan penemuan paling mutakhir, tidak pernah ada kesempurnaan setidaknya serperti yang diinginkan mahluk yang memenuhi muka bumi ini, segalanya selalu saja tidak pernah cukup, tidak pernah sempuna, selalu ada celah untuk mencari ketidak sempurnan itu.  -  malam itu gelap gulita, keheningan

Ulasan Novel Terusir Karya Buya Hamka

Ulasan mengenai novel terusir Judul Novel Terusir Penulis Buya Hamka Sinopsis Bercerita tentang perjalanan hidup Mariah, seorang wanita dari kalangan biasa yang terusir kehadirannya dari hidup Azhar suaminya dan Sofyan putra mereka. Ia kemudian terpaksa melanjutkan kehidupannya tanpa arah dan tujuan, sendirian di jalanan tanpa tempat untuk kembali, karena kedua orang tua Mariah telah meninggal, dan ia tidak memiliki sanak saudara. Diujung hidupnya yang penuh ketidak pastian dan penderitaan, satu-satunya hal yang dapat membuatnya bertahan adalah cintanya terhadap Sofyan putranya, bahkan setelah ia jatuh kedalam palung kehinaan paling dalam di hidupnya ia masih bertahan, dengan pengharapan kelak ia dapat bertemu dan mencurahkan rasa cintanya kepada Sofyan. Ulasan Terusir adalah sebuah novel yang bercerita tentang cinta, romansa kehidupan, dan permasalahan pelik yang menimpa sebuah rumah tangga yang hadir diakibatkan oleh sifat iri dan dengki, juga sebuah penggambaran secara nya

Cerpen: Persoalan Minta Minta

"Allahhu akbar.... Allahhu akbar....." dengan merdu Azan dilantunkan sang muazin, sebuah masterpiece, lantunan syair yang digumamkan tanpa alunan musik hanya bermodalkan pita suara, lebih merdu dibandingkan musik Mozart. Merdu, lantaran hanya mereka calon penghuni surgalah yang mampu menikmatinya -bukankah semakin sedikit penikmatnya semakin tinggi nilai hal tersebut- dan membuat mereka mampu melangkahkan kaki, melepaskan diri dari belenggu duniawi dengan segala gegap gempitanya. Sebuah panggilan akan deklarasi lemahnya sekaligus kuatnya seseorang yang menghamba kepada Allah. Lemah karena mereka tau bahwa mereka selalu hidup dalam ketergantungan, kuat karena mereka mampu memecah rantai belenggu dunia meski hanya sepersekian menit. Otong bergegas, berlari tunggang langgang menujur kamar dan segera berhadapan dengan almarinya. Digantinya pakaian main dengan kain sarung, songkok hitam dan baju koko putih, serta menjambret sajadah. Siap sedia dengan shalat