Langsung ke konten utama

Cerpen: Pencipataan Tuhan

Sumber: https://id.pinterest.com/pin/798263102673932034/

Pencipataan Tuhan


Ada kalanya hari begitu gelap, sang surya sudah tak sudi lagi untuk muncul dan memancarkan sinarnya, malam kian mencekam, bahkan rembulan hanya bisa menonton dari Nirwana tanpa melakukan apa-apa. Lolongan sang penguntit malam terdengar menebarkan teror dalam gelap, gagak berseliweran di angkasa menyebarkan berita akan datangnya kematian, angkara murka. Sang ibu tak lagi ramah pada siapa saja yang ingin menjamahnya, kini dia hanya bisa merintih dan menutup dirinya dalam sakit. Sumber kehidupan tak lebih menjadi penyebab kematian, dia yang seharusnya menerangi dalam gelap, dan memberi kehangatan dalam dingin tak lebih dari kekejaman yang akan melumat siapa saja yang berani berdiri di hadapannya, kekacauan.

-

Nun jauh di sana, di singahsana tempat para dewata berkuasa, jauh di jantung Nirwana, duduk dengan segala keangkuhan dan keagunganya, penguasa para dewata, Sang Pengawas. Dia yang hanya boleh disembah, memerintah dan mengelola tatanan dunia manusia yang fana. Di sebuah tempat impian bagi para penguasa, raja, kesatria, dan hamba, ladang luas yang beralaskan rumput hijau, berhiaskan sungai jernih, Firdaus bagi kaum yang lemah, dan layaknya Valhalla bagi para kesatria, sebuah aula kehormatan terbesar, yang ditopang oleh tiang yang tidak mampu lagi dihitung jumlahnya oleh manusia fana, lantainya beralaskan berlian putih yang bertulisan nama mereka yang gugur sebagai kesatria, dan beratapkan emas yang selalu memancarkan silau sinarnya.

“Menunggu bukanlah sesuatu yang akan aku lakukan, atau pun sepantasnya aku dapatkan, datanglah!! Dewi pembawa berita, dan bacakanlah berita yang ingin kudengar.” Perintah Sang Pengawas dengan nada tinggi layaknya guntur yang menggelegar memecah kebisingan yang dibuat oleh jatuhnya bulir-bulir hujan membasuh muka ibu bumi.

Tanpa jeda tepat setelah perintah yang diberikan oleh sang pengawas, datanglah dewi pembawa berita kehadapannya secepat kilat, segara berlutut, dan dengan lemah gemulai membuka kedua bibirnya, “Yang mulia sang pengawas, kupersembahkan padamu, tugas dan tanggung jawabku sebagai dewi pembawa berita, sebuah berita dari dewa peramal.”

Dengan kedua tangan menjulur keatas, mendengak ke arah sang pengawas, diatasnya terdapat sebuah perkamen yang terbuat dari kain sutra dan bertuliskan tinta yang terbuat dari emas, diikat dengan benang emas, dan disematkan pada dua batu giok yang membentuk tabung.

“Bacakan” hanya satu kata yang keluar dari mulut sang pengawas dengan penuh keangkuhan dan keangungan dalam waktu yang bersamaan.

Maka mulai dibukalah ikatan kain emas yang melingkar menyegel perkamen itu dengan perlahan, lalu dibentangkanlah lebar-lebar kain sutra itu, dengan tangan kanan sang dewi memegangi bagian atas perkamen yang diikatkan pada batu giok dan tangan yang lain sibuk memegang sisi lainnya. “Sebuah ramalan, di atas tanah para dewata ini, tepat di depan singahsana ini akan hadir benih-benih kehancuran dari dunia para hamba Sang Pengawas. Sebuah kejahatan yang dibungkus dengan perbuatan keji dan pikiran licik yang hanya haus akan kemenangan, dan kemahsyuran namanya sendiri, dalam sesesok mahluk. Dan bahkan dengan kekuatannya, tak ada akan ada yang mampu melukai, apalagi memusnahkannya dari kalangan mahluk fana bahkan kalangan para dewata, terkecuali dari dirinya sendiri.”

Mendengar ramalan itu wajah sang pengawas berubah menjadi merah menyala, semerah api neraka, kedua bola matanya melotot hampir bulat sempurna, memancarkan sinar kebencian seolah sedang berhadapan dengan musuh bebuyutan, giginya menggeram layaknya hewan karnivora yang lapar, siap untuk memangsa hewan buruannya, mengepal tangannya dan diangkat tinggi-tinggi ke udara menunjuk dengan jari telunjuknya seraya berkata. “Bawa dewa peramal kehadapanku, dan sajikan kepalanya sebagai santapan anjing-anjing penjaga, lalu buang raganya kedalam nyala api Neraka jauh dari atas Nirwana ini!!” Titah Sang Pengawas, menghilangkan kedamaian dan ketentraman nirwana, menebarkan teror ke seantero nirwana seolah ramalan itu sedang, dan telah terjadi saat itu juga.

Dengan berakhirnya kejadian dan hidup dewa peramal, maka keluarlah titah Sang Pengawas, sebuah ssayembara yang ditujukan kepada siapa saja, dewa, dewi, penguasa, raja, satria dan hamba fana untuk mencari sesosok mahluk yang diramalkan akan menghancurkan dunia manusia fana. Lalu bagi siapa saja yang dapat menemukannya akan diberikan kedudukan tinggi di nirwana apabila dia adalah dewa atau dewi, dan bagi mahluk fana, mana dia akan mendapatkan keabadian dan hidup selamanya di nirwana, namun bagi dia yang mampu mengalahkan dan membawa jasadnya kehadapan sang pengawas, maka dia akan medapat kekuatan sebagai wakil dari Sang Pengawas. Kabar tersebut pun dikumandangkan ke seantero dunia, mulai dari nirwana, dunia manusia fana, bahkan kedalam neraka, dan terus digaungkan tanpa henti hingga sesosok mahluk itu ditemukan dan berhasil ditumpas.

-

Dan dengan datangnya kabar tersebut, seluruh mahluk pun mulai sibuk mencari keberadaan sosok tersebut, dengan dalih sebagai bukti kesetiaan sebagai pelayan, hamba, dan abdi dari Sang Pengawas, yang sebenarnya hanyalah angkra akan hadiah yang diming-imingi oleh Sang Pengawas, akan kedudukan dan keabadian yang tidak mungkin ada kesempatan lain untuk mendapatkannya.

Para dewata pun mencari keberadaan sesosok mahluk itu tanpa henti dan istirahat, mencari ketiap sisi dan sudut nirwana, kedalam neraka bahkan sampai kedasarnya, hal ini membuat mereka melupakan tugas dan tanggung jawab mereka sebagai para dewata di nirwana, mereka berdalih hal ini dilakukan dengan izin dari Sang Pengawas.

Begitu pula manusia fana, dengan berbondong-bondong mereka berjalan menelusuri jalan-jalan dan tempat-tempat yang belum pernah dijamah, mendaki gunung-gungung yang belum pernah ditunggangi, berlayar ketengah lautan lepas bagaikan gurun air nan tandus dengan sengatan sang surya diatas ubun-ubun dan air asin sepanjang mata memandang, bahkan menyelami palung samudra terdalam yang penuh dengan kegelapan dan ketidak pastian. Kemudian luputlah mereka akan tugas mereka sebagai mahluk fana yang tinggal di dunia fana, juga kewajiban mereka untuk menyebah Sang Pengawas. Mengabaikan segala problematika yang terjadi dan tenggelamlah mereka dalam angkara murka, ketamakan, rasa haus dan lapar akan imbalan yang dapat mereka raih saat menemukan sesosok mahluk itu.

-

Seribu tahun berlalu, waktu seolah tak bersahabat dengan pencarian tanpa akhir mereka, tak mau mentolelir akan peluh dan lelah para mahluk yang sudah mencurahkan segala usaha untuk menemukan sesosok mahluk dalam ramalan itu. Jatuh dalam keputusasaan dan ketidak pastian, kegelapan mulai merasuk kedalam sanubari, menyeruak kedalam hati yang kelelahan, kelicikan mulai memainkan perannya setelah menunggu selama seribu tahun dan mulai menghasut pikiran-pikiran mahluk yang tamak itu, dan perbuatan keji akhirnya lahir hasil dari perkawinan kegelapan hati dan kelicikan pikiran. Para dewata, penguasa, raja, satria, hamba, dan semua mahluk fana telah dibutakan oleh keinginan dan hasrat akan kemenangan juga kemahsyuran diri mereka akan hadiah yang dapat mereka peroleh dari sang penawas. Kekejian pun dimulai, mereka pun mulai menghabisi satu sama lain, mebinasahkan kaumnya sendiri, dan menyeretnya ke nirwana, singahsana penguasa para dewata, ke hadapan sang pengawas, seraya mengatakan bahwa yang mereka bawa adalah mahluk yang digadang-gadang akan membawa kehancuran dunia manusia fana. Ratusan, ribuan, jutaan, bahkan miliaran nyawa melayang begitu saja demi memenuhi hasrat mereka, mereka bahkan dengan beraninya saling menuduh dan memfitnah di hadapan Sang Pengawas akan siapa yang sebenarnya sesosok mahluk dalam ramlan tersebut.

Melihat kekacauan yang terjadi dihadapannya, hanya membuat membuat amarah Sang Pengawas melunjak naik, tanpa pikir panjang, tanpa peringatan, dihembuskanlah kekuatan maha dasyat oleh Sang Pengawas untuk memusnahkan semua mahluk yang ada. Hal ini dilakukan tidak lain karena Sang Pengawas mulai jengah dengan segala kekejian yang terjadi hidapannya, dan demi menemukan siapa sebenarnya jati diri sesosok mahluk tersebut. Namun bukannya jawaban dan kejelasan yang dia dapatkan, hanyalah rasa terkejut akan akibat dari perbuatannya sendiri, karena dialah menjadi satu-satunya mahluk yang tersisa di jagat itu.

-

Tenggelam dalam kekecewaan dan kesedihan, merasa dirinya konyol dan bodoh, dia berpikir dan merenung. Dilihatlah bayangan dirinya di sisi lain cermin dan berkatalah dia. “Setelah semua kekejian dan kehancuran ini, barulah aku meengetahui dan mendapatkan jawaban akan kegelisahanku selama ini, diriku yang dirundung ketakukan akan kehancuran dan ketidak percayaan hamba-hambaku dimasa depan, telah membutakanku, bahwa sesosok mahluk dalam ramalan itu adalah diriku sendiri. Dan benih-benih kebencian yang secara tidak sengaja aku tanamkan dalam hati dan pikiran tiap-tiap mahluk telah membawa mereka menuju diriku, kehancuran mereka. Sesungguhnya tak ada yang mampu mengalahkan aku selain diriku sendiri, dan kehancuran itu semua bermula dari dalam diriku dan harus dirikulah yang menghentikan kehancuran itu bukanlah mahluk lain.”

-

Berpulanglah sang pengawas menuju singahsananya di nirwana. Dituliskannya kisah pilu itu dalam hikayat dan riwayat suci, firman-firman sang pengawas, ucapan, ramalan serta kejadian yang telah menimpa diri dan hamba-hambanya. Maka dibentuklah tatanan dunia baru, aturan-aturan mengikat berupa titah, perintah dan perjanjianan dengan dirinya, kepada hamba-hambanya. Saat itu pulalah dia menghapuskan keberadaan dirinya dan mengekalkan namanya dalam do’a, dan puji-pujian hambanya, mereka yang menyembahnya sekarang menamainya sebagai Tuhan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen: Hasrat

Sesungguhnya manusia adalah mahluk paling tidak sempurna, bohong bila manusia dikatakan adalah mahluk yang paling sempurna, karena nyatanya banyak dari mereka yang sering merasa kekurangan dan terus meminta untuk lebih dan lebih, namun dengan penuh rasa kesombongan mereka mampu menyebut diri mereka sebagai mahluk paling sempurna. Bahkan di masa awal peradaban, nenek moyang dan para leluhur mereka berani menyebut diri sebagai homo sapiens sapiens atau manusia yang bijaksana, karena mereka merasa kurang puas hanya dengan menyebut diri mereka sebagai homo sapiens, yang sebenarnya juga merupakan nama pemberian mereka sendiri. Bahkan dalam peradaban yang bisa dibilang paling maju sekarang, dengan penemuan paling mutakhir, tidak pernah ada kesempurnaan setidaknya serperti yang diinginkan mahluk yang memenuhi muka bumi ini, segalanya selalu saja tidak pernah cukup, tidak pernah sempuna, selalu ada celah untuk mencari ketidak sempurnan itu.  -  malam itu gelap gulita, keheningan

Ulasan Novel Terusir Karya Buya Hamka

Ulasan mengenai novel terusir Judul Novel Terusir Penulis Buya Hamka Sinopsis Bercerita tentang perjalanan hidup Mariah, seorang wanita dari kalangan biasa yang terusir kehadirannya dari hidup Azhar suaminya dan Sofyan putra mereka. Ia kemudian terpaksa melanjutkan kehidupannya tanpa arah dan tujuan, sendirian di jalanan tanpa tempat untuk kembali, karena kedua orang tua Mariah telah meninggal, dan ia tidak memiliki sanak saudara. Diujung hidupnya yang penuh ketidak pastian dan penderitaan, satu-satunya hal yang dapat membuatnya bertahan adalah cintanya terhadap Sofyan putranya, bahkan setelah ia jatuh kedalam palung kehinaan paling dalam di hidupnya ia masih bertahan, dengan pengharapan kelak ia dapat bertemu dan mencurahkan rasa cintanya kepada Sofyan. Ulasan Terusir adalah sebuah novel yang bercerita tentang cinta, romansa kehidupan, dan permasalahan pelik yang menimpa sebuah rumah tangga yang hadir diakibatkan oleh sifat iri dan dengki, juga sebuah penggambaran secara nya

Cerpen: Persoalan Minta Minta

"Allahhu akbar.... Allahhu akbar....." dengan merdu Azan dilantunkan sang muazin, sebuah masterpiece, lantunan syair yang digumamkan tanpa alunan musik hanya bermodalkan pita suara, lebih merdu dibandingkan musik Mozart. Merdu, lantaran hanya mereka calon penghuni surgalah yang mampu menikmatinya -bukankah semakin sedikit penikmatnya semakin tinggi nilai hal tersebut- dan membuat mereka mampu melangkahkan kaki, melepaskan diri dari belenggu duniawi dengan segala gegap gempitanya. Sebuah panggilan akan deklarasi lemahnya sekaligus kuatnya seseorang yang menghamba kepada Allah. Lemah karena mereka tau bahwa mereka selalu hidup dalam ketergantungan, kuat karena mereka mampu memecah rantai belenggu dunia meski hanya sepersekian menit. Otong bergegas, berlari tunggang langgang menujur kamar dan segera berhadapan dengan almarinya. Digantinya pakaian main dengan kain sarung, songkok hitam dan baju koko putih, serta menjambret sajadah. Siap sedia dengan shalat