Sumber: https://id.pinterest.com/pin/391883605075404237/ |
Itu Ia Curi dari Setan
Yasin, dzikir, dan tahlil dilantunkan dengan begitu khidmat, puji-pujian diucapkan untuk sang pencipta dan baginda rasulNya, doa demi doa dibacakan dengan penuh kekhusyukan, pesan-pesan terakhir dan warisan sang meninggal dibicarakan di depan jemaah tahlil oleh Pak Kyai, seraya memenuhi keinginan sang meninggal juga untuk menguatkan hati orang-orang yang ia tinggalkan.
Djaka, seorang sastrawan kacangan asal Boyolali yang dikenal sebagai orang yang dermawan dan taat beragama, juga mendapat gelar Ustaz kampung, atas kemampuanya dalam membaca dan melantunkan ayat-ayat Allah tepat makhorijul hurufnya dan pas panjang pendeknya, mati, meninggal, berakhir riwatnya di ujung bemper mobil truk fuso yang biasa lalu lalang di depan jalan utama, jalan yang juga biasa ia lalui apabila ingin pergi dan pulang, dari atahu menuju Langgar untuk shalat berjamaah.
Dengan diterangi cahaya temaram yang dipancarkan lampu bohlam merek Phillip dengan daya lima watt, jemaah tahlil diinformasikan untuk datang keesokan paginya untuk membantu penyemayaman jenazah sang meninggal, Djaka.
-
Keesokan paginya rumah Djaka sudah dipadati hiruk-pikuk pelayat dan warga desa Karang Asem, Boyolali, ada pelayat yang datang memenuhi undangan sesuai dengan himbauan pak Pak Kyai yaitu untuk datang, dan membantu prosesi penyemayaman Djaka pagi ini, termasuk juga Pak Kyai sendiri. Ada kerabat Djaka yang datang untuk sekedar memberikan ucapan belasungkawa kepada orang-orang yang ditinggalkan. Ada pula orang-orang yang sekedar datang untuk melihat pemakaman. Bahkan ada beberapa preman yang memanfaatkan hal ini untuk menagih uang parkir motor, dan memakan camilan juga kopi gratis.
Dengan berbondong-bondong dan diiringi dengan bacaan-bacaan juga teriak-terikan tahlil, keranda yang berisi jenazah Djaka diangkat, berangkatlah rombongan pelayat menuju kolpleks pemakaman umum yang terletak dekat dengan desa Karang asem, tempat peristirahatan terakhir Djaka.
Kembali tahlil dikumandangkan, yasin dibacakan, dan do’a-do’a penunjang, untuk keselamatan jenazah di akhirat, digumamkan. Suasana berjalan dengan penuh ke khidmatan juga diwarnai tangis, dan air mata pelayat, terutama oleh orang-orang yang ditinggalkan. Setelah sekitar satu jam, Pak Pak Kyai menutup acara dengan salam dan nasihat, maka pulanglah para pelayat satu-persatu. Dengan demikian berakhirlah upacara pemakaman para pelayat, namun tidak bagi Djaka, karena persidangannya baru akan segera dimulai.
-
Kepala Djaka terasa pening, seluruh tubuhnya terasa sakit, perutnya terasa mual tidak karuan, seakan-akan dia adalah wanita yang sedang muntah-muntah karena baru pertama kali mengalami kehamilan, dengan bersusah payah akhirnya Djaka mampu membuka kedua matanya, pandanganya kabur, semuanya terlihat tampak tak nyata dan tak jelas.
Dalam posisi duduk dikursi Djaka mencoba mencari tahu tentang keadaan di sekitarnya, setelah beberapa kali mengucek matanya, dan mencoba menjernihkan pandangannya dia tetap tak mendapatkan jawaban atas usahanya mencari tahu tempat keberadaannya sekarang ini. Satu-satunya hal yang dapat ia rasakan adalah bantalan empuk kuris yang terasa di bawah pantatnya, tempat ia duduk sekarang, dan sebuah meja besar yang diletakkan beberapa meter didepannya, juga dua buah kursi yang diletakkan di sebelah kiri meja besar dengan posisi menghadap ke arahnya, dan disejajarkan secara diagonal.
Tetap dalam keadaan bingung, telinga Djaka tiba-tiba mendengan derap langkah beberapa orang yang berjalan dari belakangnya, semakin dekat menuju kerahnya. Langkah kaki itu terdengar sangat pelan mula-mulanya, namun seiring berjalannya waktu, dan jarak mereka yang semakin mendekat, derap langkah kaki itu semakin terdengar nyaring dan jelas, suaranya sangat nyaring hingga memekakkan telinga Djaka, mungkin hal ini karena di sana selain gelap gulita, Djaka juga duduk ditengah-tengah kesunyian, jadi maklum saja apabila suara yang ditimbulkan oleh derap langkah itu begitu nyaring.
Setelah itu sekelebat sosok berjalan melewatinya tepat dari belakang, Djaka melihat empat sosok mahluk yang menyerupai manusia, ditutupi dengan pakaian serba hitam, juga mengenakan tudung yang menutupi kepala hingga sebagian wajah, yang hanya menyisakan hidung dan mulut terlihat. Dua sosok berjalan menuju belakang meja besar dan duduk di atas kursi yang sedari tadi ada disana, yang tak terlihat karena tertutup oleh maja besar itu. Sementara kedua sosok lainnya berjalan dan duduk diatas dua kursi yang terletak di sebelah kiri meja besar itu.
“Trek” Terdengar bunyi nyaring dari suatu tempat, gelap gulita yang selama ini menyelimuti tempat itu berganti menjadi terang benderang. Sinar yang tak jelas dari mana datangnya, tiba-tiba saja menyinari tiap sudut tempat tersebut. Dengan penuh rasa kaget, dan merasa tercengang akhirnya semua jelas, dia sedang didudukan di atas kursi persidangan, dua sosok yang duduk dibalik meja besar adalah hakim, sedangkan dua sosok yang duduk diatas dua kursi yang terletak disebelah kiri meja besar adalah juri. Tanpa bisa berkata-kata Djaka hanya bisa duduk dalam diam.
-
“Tok tok tok” Terdengar suara palu dari arah meja besar, palu yang digetokkan, dan diadu dengan meja, menandakan dimulainya persidangan.
“Sidang dengan nomer lima puluh triliun, atas nama terdakwa Djaka Kartoyo, yang akan dipimpin oleh hakim satu, diri saya sendiri Munkar, dan hakim dua Nakir, juga disaksikan oleh dua orang juri Raqib dan Atid, akan segera dimulai.” Tegas salah seorang yang duduk di balik meja besar itu yang belakangan diketahui sebagai Munkar.
Kaget bukan kepalang Djaka setelah mendengar perkataan Munkar, masih dengan pertanyaan mengenai dimanakah tempat ia berada sekarang, pikiran Djaka mulai dihantui dengan pertanyaan-pertanyaan lain yang tak kalah membingungkannya dan membuatnya kaget tak percaya.
“Apa yang terjadi? Sidang? Sidang apa? Sidang siapa? Sidang kenapa? Kok bisa aku disidang? Kesalahan apa yang telah aku perbuat? Munkar, Nakir, Rakib dan Atid? kayanya aku pernah dengar nama-nama itu?”
Pertanyaan itu terus bertambah seiring berjalannya waktu. Suasana yang tadinya sunyi sepi, tiba-tiba berubah menjadi mencekam, bulu kuduk Djaka berdiri seolah-olah ia sedang digerayangi setan, bibirnya kelu tak bisa mengeluarkan kata-kata meskipun banyak pertanyaan yang sebenarnya ingin ia lontarkan, badannya kaku membeku layaknya orang yang dibelenggu.
Dalam perasaan campur aduk atas segala keanehan yang ia hadapi, Djaka memberanikan diri dan berusaha sekuat dan sekeras mungkin untuk menggerakkan lidahnya hanya untuk sekedar melontarkan pertanyaan. Namun segala daya dan upaya yang diusahakan oleh Djaka tak membuahkan hasil, lidahnya tetap kelu, dan tubuhnya kaku membeku seperti dibelenggu.
Tanpa komando atau pun melihat kearah Djaka, Munkar membuka mulutnya kembali dan berkata seolah-olah ia bisa membaca pikiran dan menebak pertanyaan-pertanyaan yang hendak dilontarkan oleh Djaka, “Sekarang kita berada di liang kubur yang merupakan ruang sidang untuk semua manusia yang telah mati dan dikubur, dalam persidangan ini kau akan diadili atas apa-apa saja yang telah kau perbuat semasa hidupmu, tak ada kata kecurangan, suap ataupun pengacara yang dapat menyelamatkanmu dari jilatan lidah api neraka, kecuali amal baikmu selama di dunia. Maka lihatlah kebelakangmu, kumpulan amal baik dan amal burukmu sudah berdatangan untuk satu persatu memberikan kesaksian mereka atas perbuatanmu selama ini di dunia.”
Merespon dengan cepat, Djaka mencoba menoleh kebekalang dengan memutar lehernya dan sebagian tubuhnya kearah kanan, dan dilihatnya kursi-kursi yang telah penuh tersisi dengan sebagian besar orang mengenakan baju putih dan sebagian kecil lainnya mengenakan baju hitam.
“Orang-orang yang mengenakan baju putih itu adalah amalan baikmu, dan orang-orang yang mengenakan baju hitam itu adalah amalan burukmu. Bersiaplah Djaka untuk menyaksikan kesaksian amalan-amalan yang selama ini kau perbuat di tengah-tengah persidangan ini.”
-
Dimulailah persidangan pada hari itu, satu-persatu amalan Djaka maju dan memberikan kesaksianya atas apa-apa saja yang telah Djaka lakukan semasa hidupnya. Tiap-tiap amalan memberikan kesaksian sesuai dengan perbuatan dan amalan apakah mereka, amalan-amalan yang mengenakan baju putih memberikan kesaksian atas perbuatan-perbuatan baik yang selama ini Djaka telah lakukan di dunia.
Ada amalan yang bersaksi tentang kedermawanannya, bagaimana Djaka setiap harinya memberikan makanan kepada kucing-kucing kampung yang ada di sekitaran rumahnya, ada juga yang memberikan kesaksian bagaimana Djaka dengan sangat rajin melangkahkan kakinya setiap hari menuju Langgar yang ada di dekat rumahnya tidak hanya untuk menunaikan sholat berjamaah, tapi juga untuk membantu menyiapkan karpet dan menyapu masjid apabila menjelang waktu shalat jum’at.
Begitu pula sebaliknya, amalan-amalan buruk Djaka yang mengenakan pakaian serba hitam memberikan kesaksian mengenai apa-apa saja hal buruk yang telah Djaka lakukan di dunia. Ada yang mengatakan bahwa Djaka pernah mengumpat terhadap orang-orang yang tak disukainya, ada pula yang berkata bahwa dia pernah berbohong kepada istrinya tentang alasan kenapa dia pulang larut malam, juga ada yang bersaksi bahwa Djaka adalah orang yang keras kepala semasa hidupnya.
Dan begitulah, persidangan berjalan dengan durasi yang sangat panjang, seolah-olah persidangan itu berlangsung selamanya, satu demi satu amalan bersaksi di depan hakim satu Munkar, hakim dua Nakir dan kedua juri Rakib dan Atid, mengenai perbuatan Djaka semasa hidupnya.
-
Meskipun perasaan bingung, dan takut masih menyelimuti raga, dan pikiran Djaka, namun jauh di dalam sukmanya timbuh sedikit benih rasa lega, benih ini muncul lantaran Djaka menyaksikan sendiri bahwa amalan baiknya lebih banyak ketimbang amalan buruknya semasa hidup di dunia. Setelah mengikuti jalannya sidang yang berlangsung sangat lama, akhirnya hanya tersisa segelintir amalan yang belum memberikan kesaksian mereka, masih diliputi perasaan bingung, dan takut Djaka mulai berfikir, meskipun ia memiliki amalan baik yang lebih banyak ketimbang amalan buruk, bukankah dalam Islam, meskipun setiap muslimin diajanjikan oleh Allah surga, namun apabila dalam diri mukmin tersebut masih terdapat amalan buruk, maka ia terlebih dahulu akan di masukkan ke neraka? Pikiran Djaka pun melayang, membayangkan dirinya yang akan segera dijebloskan kedalam api neraka, lidah api yang menjilat-jilat sudah menunggunya di bawah jembatan Siratal Mustaqim, dan siksaan bertubi-tubi akan segera ia dapatkan atas amalan buruk yang telah ia lakukan di dunia ini.
Merinding, bulu kuduk Djaka sekejab berdiri, kuliatnya tiba-tiba berubah menjadi pucat pasi, layaknya warna susu sapi yang baru saja diperah, keringat dingin bercucuran dari pori-pori tubuhnya memaksa keluar, dan tidak mau berhenti layaknya air yang mengucur dari gelas yang tumpah karena terlalu banyak diisi oleh air.
Masih dalam keadaan pucat pasi, dan diliputi ketakutan, kini Djaka menyaksikan amalan terakhirnya yang bersaksi di depan hakim dan juri. Amalan tersebut bersaksi atas dedikasi Djaka semasa hidupnya, ia adalah langkah kaki Djaka, langkah kaki yang ia arahkan menuju Langgar tempat ia biasa menunaikan sholat, langkah kaki tepat sebelum ia meregang nyawa.
Berakhirlah kesaksian amalan terakhir Djaka. suasana kembali hening, semua amalan kembali ke tempat duduknya masing-masing, kini juri mulai berbisik-bisik membicarakan kesaksian-kesaksian yang telah diberikan oleh amalan-amalan itu, begitu pula dengan hakim yang mulai berdiskusi untuk memutuskan hasil dari persidangan saat itu, dan memberikan vonis kepada Djaka.
Setelah beberapa saat berdiskusi, akhirnya Munkar, selaku hakim satu angkat suara “Setelah ditimbang, dan diukur atas semua amalan yang telah saudara lakukan, Djaka Kartoyo, umur 38 tahun, pekerjaan penulis, Karang Asem, Boyolali, dijatuhi hukuman masuk Neraka selama satu bulan waktu akhirat, setelah itu kau akan dimasukkan ke Surga.”
Terbukti sudah ketakutan Djaka, akhirnya bayangan-bayanganya soal siksa api neraka akan segera menjadi kenyataan. Namun tepat sebelum hakim satu menggetokkan palu ke atas meja, tiba-tiba saja datang sesosok amalan baik yang mengenakan pakaian putih, namun berbeda dengan amalan baik lainnya baju yang ia kenakan sangatlah putih, dan memancarkan cahaya terang yang berkilauaan.
Lalu ia berjalan dengan cepat menuju ketengah-tengah tempat sidang seraya berkata “Aku bukanlah sembarang amalan baik, aku adalah amalan syahid Djaka, dan atas seizin Allah aku hadir ditengah-tengah persidangan ini. Kedatanganku tak lain untuk menyelamatkan Djaka dari siksaan api neraka.”
Sedikit merasa lega, namun masih tetap dengan rasa takut yang menyelimuti, Djaka dengan seksama mendengarkan penuturan amalan syahidnya dalam memberikan kesaksian tentang cara kematian Djaka dan kenapa dia bisa mendapat amalan syahid. Setelah beberapa saat akhirnya jelas sudah alasan kenapa Djaka bisa mendapat amalan syahid hal itu tak lain karena perbuatannya sebelum meninggal adalah melangkahkan kakinya ke Langgar, dan mati karena ditabrak oleh truk fuso.
Setelah kembali bercakap-cakap dan berdiskusi menimbang kesaksian amalan syahid Djaka, akhirnya hakim mendapatkan kesimpulan, bahwa vonis Djaka akan dirubah dan hukumannya untuk masuk neraka selama satu bulan waktu akhirat akan dihilangkan. “Setelah menimbang dan menilai atas kesaksian amalan syahid saudara Djaka, maka hakim memutuskan untuk merevisi vonis yang sebelumnya telah diberikan. Dengan begini saudara Djaka Kartoyo, umur 38 tahun, pekerjaan penulis, Karang Asem, Boyolali, dijatuhi vonis masuk Surga tanpa melalui hukuman masuk Neraka.” Tegas Munkar selaku hakim satu.
Namun, kembali lagi tepat sebelum hakim satu mengesahkan vonis dengan menggetokkan palu keatas meja, terdengar suara teriakan lantang, seraya melayangkan protes terhadap vonis yang diberikan oleh hakim, suara tersebut disadari oleh Djaka ternyata berasal dari salah satu juri. “Tunggu sebentar yang mulia hakim Munkar, saya Atid, selaku juri tidak menyetujui vonis yang anda berikan kepada saudara Djaka. Karena menurut catatan amalan buruk saudara Djaka yang saya miliki, dan saya catat selama ini, saudara Djaka masih memiliki satu dosa besar yang sampai saat ini masih berjalan, dan menjadi dosa jariyah dari saudara Djaka.”
Mendengar pernyataan Atid selaku juri dan pencatat dosa-dosanya Djaka kaget bukan kepalang, perasaan lega yang sempat hadir dalam benaknya kini hancur lebur ibarat kaca yang pecah berkeping-keping, berganti dengan kecemasan yang kini hadir menyelimuti dirinya dan merembet seperti api yang menjalar keseluruh tubuhnya.
Keringat dingin kembali bercucuran, digunakan otaknya untuk berpikir keras akan amalan buruk apakah yang ia telah perbuat semasa hidupnya sehingga bisa menjadi amalan buruk? Bahkan amalan tersebut bisa menjadi dosa jariyah seperti apa yang terlontar dari mulut Atid.
Setelah beberapa menit terdiam, dan suasana sunyi yang kembali menyelimuti tempat sidang, akhirnya Atid kembali membuka mulut. “Pencurian, dosa jariyah yang telah dilakukan oleh saudara Djaka adalah pencurian, dan dia akan mendapatkan hukuman atas tuduhan pencurian.”
Pencurian? Tapi pencurian apa? Semasa hidupnya tidak pernah secuilpun Djaka mencicipi barang-barang ataupun hal-hal yang bukan merupakan haknya, dan sekarang ia coba dijebloskan kedalam neraka atas tuduhan pencurian.
Terlebih lagi kasus itu menjadi dosa jariah yang artinya masih berlangsung hingga saat ia mati saat ini? Barang apa yang telah ia curi selama ini. Djaka semakin berpikir keras, diperas otaknya sekuat yang ia bisa, mencoba membaca dan menayangkan kembali memori-memori masa hidupnya, dicermati satu-persatu dalam pikirannya namun tak kunjung pula ia menemukan ingatan tentang dirinya yang pernah menyerobot hak orang lain, apalagi mencuri.
Memcah keheningan Atid kembali angkat suara. “Dalam hal ini, saya akan langsung mendatangkan korban kasus pencurian ini, guna memberikan kesaksiannya atas pencurian yang telah ia alami yang dilakukan oleh saudara Djaka.”
Dengan tangan menunjuk kearah belakang Djaka, kembali Atid bersuara seraya memanggil sesosok mahluk lain. “Setan, silahkan maju dan berikan kesaksian anda atas kasus pencurian yang telah diakukan saudara Djaka.”
Segera terlihat sekelebat sosok mahluk yang bentuknya menyerupai manusia namun seluruh tubuhnya terbakar, diperhatikannya sosok tersebut oleh Djaka, dari ujung jari kaki sampai ujung kepala sosok tersebut diselimuti api yang menjilat-jilat, sosok tersebut secara singkat mirip seperti masunia yang terbakar yang selama ini Djaka pernah lihat dalam adegan film-film aksi karya Hollywood.
“Nama saya adalah Setan Walhan, saya ditugaskan untuk menggangu segala bentuk dan usaha manusia dalam menjalankan ibadah, dan menyembah Allah. Kebetulan saya adalah setan yang ditugaskan untuk menggangu saudara Djaka semasa hidupnya. Saya pulalah yang selama ini memberikan bisikan-bisikan, dan perasaan-perasaan yang dapat mengacaukan prosesi peribadatan yang dilakukan saudara Djaka sejak dia menginjak usia baligh.” Terang sosok tersebut, yang belakangan menurut penuturannya diketahui sebagai Setan Walhan.
“Dan kehadiran saya disini atas izin Allah, ingin menuntut keadilan, dan hak saya sebagai salah satu mahluk ciptaanNya. Saya ingin menuntut saudara Djaka atas kasus pencurian yang selama ini ia lakukan terhadap saya, hal yang tidak saja merugikan saya, namun juga merugikan manusia lain yang ada disekitarnya.”
Kaget bukan kepalang perasaan Djaka atas tuduhan Setan Walhan, yang mengaku sebagai korban pencurian yang telah dilakukan olehnya, seumur hidupnya dan sejauh ingatannya yang dapat ia ingat, Djaka tahu bahwa dirinya tak pernah mencuri dari orang lain ataupun mahluk hidup lain, dan kali ini ia mendapat tuduhan mencuri dari mahluk lain yang bahkan keberadaanya baru ia ketahui setelah ia mati.
“Sebentar Setan Walhan, sebelum saya kembali merevisi vonis yang telah saya berikan kepada saudara Djaka, dapatkah anda menceritakan secara detil barang apa yang sebenarnya telah saudara Djaka curi dari anda, kapan dan bagaimana kejadian itu terjadi?” Tanya Munkar selaku hakim satu kepada Setan Walhan.
Namun tepat sebelum Setan Walhan memberikan kesaksian dan jawaban akan pertanyaan yang dilontarkan Munkar, Atid angkat bicara, seraya mewakili Setan Walhan dalam memberikan kesaksian, sambil melihat buku catatan amalan buruk dari Djaka yang selama ini ia catat. “Jika diizinkan yang mulia hakim Munkar dan Nakir, kiranya saya bisa menjelaskan kronologis kejadian kejahatan pencurian tersebut, dan seperti yang disebutkan korban, Setan Walhan, sebelumnya saya juga dapat menjelaskan tentang kerugian yang dialami tidak hanya oleh korban tapi juga orang lain yang ada disekitar saudara Djaka.” pinta Atid kepada Munkar dan Nakir.
Setelah diberikan izin, kembali Atid berbicara untuk meluruskan semua hal yang kian menjadi ruwet ini dan menjawab segala pertanyaan yang hadir dalam benak Djaka selaku pesakitan, terdakwa atas kasus pencurian yang bahkan ia juga tidak tahu-menahu. “Seperti yang kita ketahui, saudara Djaka mungkin adalah orang yang dikenal dermawan, taat beribadah dan orang yang memiliki iman yang kuat. Setidaknya seperti itulah penuturan orang-orang disekitarnya perihal apabila diminta untuk mendeskripsikan seperti apa saudara Djaka itu sendiri.
“Seperti yang diketahui pula, Djaka adalah seorang penulis, ia menghidupi keluarganya dengan cara menuliskan kisah-kisah fiksi berupa sastra dalam berbagai bentuk, mulai dari puisi, cerpen, novel, ballad, syair, bahkan diketahui Djaka juga sudah menerbitkan beberapa buku, meskipun buku tersebut hanya setingkat lokal Jawa Timur, namun menjadi best seller di kota Boyolali. Ide-ide yang dituliskannya cenderung imaginatif juga innovatif, bahkan ada juga beberapa tulisannya yang bernada krtitis.
“Tulisan-tulisannya pun diketahui mempunyai kalangan pembacanya tersendiri, biasanya kalangan tersebut terdiri dari mahasiswa-mahasiswa yang menggandrungi sastra, juga beberapa anak muda yang merupakan penggiat sastra di komunitas-komunitas sastra yang tersebar di kota Boyolali. Namun, ditengah kesuksesan tersebut, tahukah saudara dari mana saudara mendapatkan ide untuk menuliskan karya-karya anda?” Tanya Atid kepada Djaka setelah panjang lebar menjelaskan tentang riwayat hidupnya dan pekerjaannya sebagai seorang penulis, sastrawan.
Masih dalam keadaan kaget dan cemas, sekarang ditambah dengan perasaan panik akibat pernyataan dan perkataan Atid selaku juri, yang melayangkan pertanyaan yang mungkin dia sendiri tidak tahu jawabannya.
Setelah mencoba berpikir keras, memutar otaknya dan memeras keras otaknya hingga keluar sari pati memori, dan ingatannya kalau perlu, Djaka bersusah payah mengingat, dan mencari jawaban akan pertanyaan Atid, ‘dari manakah asal semua ide yang selama ini ia dapatkan dalam menuliskan karya-karyanya.’ Karena tak kunjung menemukan jawabannya akhirnya Djaka berhenti untuk berpikir dan malah melayangkan pandangannya ke sekeliling tempat tersebut, lalu terpakulah pandangannya pada sosok Setan Walhan.
Sesaat setelah ia melihat Setan Walhan, tiba-tiba saja sekelebat ingatan muncul di pikirannya tanpa disangka-sangka, ya semua ide itu, ia tahu darimana asalnya, semua ide itu muncul pada saat Djaka menjalankan ibadahnya selama ini, ia merasa mendapatkan bisikan-bisikan ghaib yang memberikannya ide-ide untuk menulis karya sastra.
Sekali-lagi seperti seolah-olah mengetahui jalan pikiran Djaka, Atid kembali berbicara memecah keheningan, dan semua pikiran Djaka tentang asal mula ide-ide yang selama ini ia dapatkan untuk menulis sastra.
“Ya benar sekali, seperti apa yang saudara Djaka pikirkan, ide-ide tersebut memang saudara dapatkan saat saudara sedang menjalankan ibadah. Namun, hal ini bukan berarti ibadah yang selama ini saudara jalankan menjadi tidak sah. Tetapi saudara Djaka, dewan juri, Setan Walhan, dan yang mulia hakim Munkar dan Nakir. Sesungguhnya ide-ide yang ia tuliskan dalam naskah-naskah sastra selama ini, itu ia curi dari setan…….”
Komentar
Posting Komentar