Langsung ke konten utama

Cerpen: Persoalan Minta Minta


"Allahhu akbar.... Allahhu akbar....." dengan merdu Azan dilantunkan sang muazin, sebuah masterpiece, lantunan syair yang digumamkan tanpa alunan musik hanya bermodalkan pita suara, lebih merdu dibandingkan musik Mozart.

Merdu, lantaran hanya mereka calon penghuni surgalah yang mampu menikmatinya -bukankah semakin sedikit penikmatnya semakin tinggi nilai hal tersebut- dan membuat mereka mampu melangkahkan kaki, melepaskan diri dari belenggu duniawi dengan segala gegap gempitanya.

Sebuah panggilan akan deklarasi lemahnya sekaligus kuatnya seseorang yang menghamba kepada Allah. Lemah karena mereka tau bahwa mereka selalu hidup dalam ketergantungan, kuat karena mereka mampu memecah rantai belenggu dunia meski hanya sepersekian menit.

Otong bergegas, berlari tunggang langgang menujur kamar dan segera berhadapan dengan almarinya. Digantinya pakaian main dengan kain sarung, songkok hitam dan baju koko putih, serta menjambret sajadah.

Siap sedia dengan shalat starter packnya, dilangkahkan kaki-kaki kecil itu keluar istana kecilnya menuju rumah sang Khalik. Tepat di ambang pintu rumah ia dihadang sesosok pria besar yang sedari tadi luntang lantung di teras rumah.

"Otong mau ke masjid?" Tanya sosok itu yang ternyata adalah ayahnya sendiri. "Tapi kenapa pakai pakain yang sudah jelek dan lusuh? Segera ganti dengan pakaian yang lebih layak!"

Dua pertanyaan yang dilontarkan di awal ibaratnya panah kabura dalam seni berperang kuno negri asal Takadatsu Honda juga Honda Monkey dan Honda Motocompo sebelum memulai perang, dengan serangannya yang berupa perintah untuk segera berganti pakaian.

"Aku gak mau yah, pakaian ini sudah pas menurutku." Bantah si Otong.

"Tapi nak pakaian itu sudah lusuh, jelek, bukankah kamu pergi ke masjid hendak menunaikan shalat? Bercengkrama dengan sang maha kuasa? Selayaknya kamu ingin bertemu penguasa negri ini, kau harus berpakaian rapih dan layak untuk menunjukan rasa hormat, apalagi penguasa dunia ini."

"Ini bukan soal rasa hormat juga layak atau tidaknya yah"

Mengeryitkan dahi, si ayah mulai bingung dengan kata-kata yang menerjang keluar begitu saja dari mulutnya, keringat mulai merangkak turun dari pori-pori kepala si ayah, dan menetes layaknya hujan.
Dalam diam, kesadaran si ayah mengapung di kolam ketidak sadaranya dengan kata-kata 'ini bukan soal rasa hormat juga layak atau tidaknya' yang dilepaskan Otong kepada si ayah sebagai pelampungnya.

Melihat pak tuanya memasang wajah bingung, Otong mencoba memecah keheningan dan merebut kembali perhatian ayahnya dengan pertanyaan yang tak kalah membingungkannya.

"Yah, kalau aku gak boleh pakai pakaian lusuh, tapi kenapa tukang minta minta yang saban hari menyambangi rumah kita menggunakan pakaian lusuh?"

Benar saja lamunan si ayah meletus layaknya balon dari ingus yang pecah seperti di komik-komik jepang, dan perhatianya kembali diarahkan kepada Otong. Sekejap si ayah mengalihkan pandanganya ke langit-langit, mencoba tidak menunjukan ekspresi bingung, lebih kepada berpikir, agar telihat lebih intelek.

Mencoba melawan kebingungan yang mulai banyak berdatangan dan menyatroni pikirannya, si ayah lantas menjawab dengan pas dan pantas.

"Lantaran mereka tak mampu, juga supaya si empunya rumah merasa iba dengan kemelasan mereka dan sudih memberikan bantuan."

"Lantas apa bedanya dengan ku? Bukan aku berangkat ke rumahNya untuk meminta-minta, lantaran aku ini hambaNya yang serba tidak mampu? Aku juga ingin mendapat simpati dariNya, itulah kenapa aku mengenakan pakaian lusuh."

"Selama ini ayah hanya mengajarkan ku untuk meminta kepada Allah bukan untuk bersyukur, jadi dengan nalarku yg mulai berkecambah, sewajarnya aku shalat menggunakan pakaian lusuh, karena bibit yg selama ini ayah tanamkan dalam taman pikiranku mengenai ketuhanan hanyalah soal meminta bukan menunjukan rasa syukur. Lalu ayah menyuruhku mengenakan pakain yang layak untuk meminta-minta?"

Merasa dipecundangi dan kehormatannya dilucuti oleh tutur perkataan si Otong, anaknya. Si ayah membiarkan anaknya pergi begitu saja, dan malah ikut-ikutan mengenakan pakaian lusuh untuk segera menyambangi masjid. Ah, indahnya meminta minta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen: Hasrat

Sesungguhnya manusia adalah mahluk paling tidak sempurna, bohong bila manusia dikatakan adalah mahluk yang paling sempurna, karena nyatanya banyak dari mereka yang sering merasa kekurangan dan terus meminta untuk lebih dan lebih, namun dengan penuh rasa kesombongan mereka mampu menyebut diri mereka sebagai mahluk paling sempurna. Bahkan di masa awal peradaban, nenek moyang dan para leluhur mereka berani menyebut diri sebagai homo sapiens sapiens atau manusia yang bijaksana, karena mereka merasa kurang puas hanya dengan menyebut diri mereka sebagai homo sapiens, yang sebenarnya juga merupakan nama pemberian mereka sendiri. Bahkan dalam peradaban yang bisa dibilang paling maju sekarang, dengan penemuan paling mutakhir, tidak pernah ada kesempurnaan setidaknya serperti yang diinginkan mahluk yang memenuhi muka bumi ini, segalanya selalu saja tidak pernah cukup, tidak pernah sempuna, selalu ada celah untuk mencari ketidak sempurnan itu.  -  malam itu gelap gulita, keheningan

Ulasan Novel Terusir Karya Buya Hamka

Ulasan mengenai novel terusir Judul Novel Terusir Penulis Buya Hamka Sinopsis Bercerita tentang perjalanan hidup Mariah, seorang wanita dari kalangan biasa yang terusir kehadirannya dari hidup Azhar suaminya dan Sofyan putra mereka. Ia kemudian terpaksa melanjutkan kehidupannya tanpa arah dan tujuan, sendirian di jalanan tanpa tempat untuk kembali, karena kedua orang tua Mariah telah meninggal, dan ia tidak memiliki sanak saudara. Diujung hidupnya yang penuh ketidak pastian dan penderitaan, satu-satunya hal yang dapat membuatnya bertahan adalah cintanya terhadap Sofyan putranya, bahkan setelah ia jatuh kedalam palung kehinaan paling dalam di hidupnya ia masih bertahan, dengan pengharapan kelak ia dapat bertemu dan mencurahkan rasa cintanya kepada Sofyan. Ulasan Terusir adalah sebuah novel yang bercerita tentang cinta, romansa kehidupan, dan permasalahan pelik yang menimpa sebuah rumah tangga yang hadir diakibatkan oleh sifat iri dan dengki, juga sebuah penggambaran secara nya