Langsung ke konten utama

Cerpen: Hasrat


Sesungguhnya manusia adalah mahluk paling tidak sempurna, bohong bila manusia dikatakan adalah mahluk yang paling sempurna, karena nyatanya banyak dari mereka yang sering merasa kekurangan dan terus meminta untuk lebih dan lebih, namun dengan penuh rasa kesombongan mereka mampu menyebut diri mereka sebagai mahluk paling sempurna. Bahkan di masa awal peradaban, nenek moyang dan para leluhur mereka berani menyebut diri sebagai homo sapiens sapiens atau manusia yang bijaksana, karena mereka merasa kurang puas hanya dengan menyebut diri mereka sebagai homo sapiens, yang sebenarnya juga merupakan nama pemberian mereka sendiri. Bahkan dalam peradaban yang bisa dibilang paling maju sekarang, dengan penemuan paling mutakhir, tidak pernah ada kesempurnaan setidaknya serperti yang diinginkan mahluk yang memenuhi muka bumi ini, segalanya selalu saja tidak pernah cukup, tidak pernah sempuna, selalu ada celah untuk mencari ketidak sempurnan itu. 


malam itu gelap gulita, keheningan terbang melayang ke seantero kampung, memenuhi jalan-jalan, memadati sudut-sudut ruang gelap nan sesak, dan berlarian bebas ditengah alun-alun kampung yang kosong melompong. Hanya jeritan angin yang terdengar merdu melantunkan syair-syair nestapa seolah ikut bersedih akan hilangnya si jagoan kampung, Tegar Ananda Putera. 

Tegar hilang dua windu lalu, atau begitu setidaknya perkiraan para penduduk, setelah dengan gagahnya mengumumkan kepergiannya mencari kebenaran akan kejadian mistis yang selama ini menghantui para penduduk, karena tidak ada satu orang pun yang berani berdiri untuk pergi mencari jawaban selain dirinya, maka ia mengirimkan dirinya sendiri sebagai relawan dengan harapan menghilangkan ketakutan ini sekali dan selamanya. 

Ya, dia adalah jagoan kampung, karena kata-kata dan teladannya, para penduduk terbakar semangatnya, menggelora dadanya untuk ikut mengangkat senjata dalam mengusir para penjajah dari kampung tercinta mereka beberapa tahun lalu. Para durjana yang selama ini hanya menjadi lintah, mereka yang datang dan menjanjikan kebebasan justru merampas kebebasan dan memegangnya erat-erat, mencengkramnya dengan armada dan kekuatan yang mereka miliki. 

Pagi itu sinar sang surya terasa lebih menyengat, angin terasa lebih mengigit dan udara terasa lebih tidak bersahabat yang mampu membuat bulu kuduk beridiri tegap layaknya tentara bayaran yang akan masuk ke medan pertempuran. hari berjalan lebih lambat, waktu seolah malas beranjak dan suasana lebih tenang, sangat tenang, terlalu tenang, dan menimbulkan ketidak nyamanan. Namun siapa sangka ditengah semua kejanggalan pada pagi itu terjadi keajaiban, bukan suatu keajaiban layaknya sihir dan mantra, namun lebih dari itu, kepulangan Tegar, si jagoan kampung, Tegar Ananda Putera pulang dari perjalanannya.

Dengan bersukaria dan dibanjiri tangis dan tawa, dia disambut layaknya pahlawan, dan semua orang di kampung mengelu-elukan namanya, mereka bertebaran disana bukan tanpa alasan, sebenarnya mereka disana bersama-sama karena satu tujuan, dan bukan mengharapkan hadiah atau buah tangan, namun satu hal, yaitu jawaban. Semua orang mulai bertanya-tanya dalam benak mereka kenapa perjalanan itu memakan banyak waktu, bahkan tidak sedikit dari mereka yang mengira dia sudah tiada, namun hal itu akan terjawab segara, tepat saat itu juga.

"Selamat datang nak, kami tahu suatu saat kau akan kembali kepada kami" ucap seorang pria tua dengan lantang. "kami tahu pasti tidaklah mudah untuk seorang pemuda sepertimu mengembara dan pergi mencari jawaban disaat kami, tidak mampu untuk berdiri dan memecahkannya untuk diri kami sendiri" sambung pria tua itu.

"Ya terima kasih tetua, aku memang pergi untuk mencari jawaban atas pertanyaan kalian semua, namun hal itu bukanlah sebuah tindakan patriotik, namun lebih kepada pemenuhan hasrat, juga merupakan kehendakku yang ingin memenuhi rasa keingintahuan akan sumber masalah kita selama ini." jawab Tegar.

"Ya, kami sepernuhnya mengerti atas apa yang kau katakan, tindakanmu adalah kuasamu, namun akibat dari tindakan itulah yang membuatku berterima kasih, yang menguntungkan tidak hanya dirimu namun juga kami, karena itulah kami akan sangat berterima kasih apabila kau sudi untuk berbagi ceritamu kepada kami mengenai perjalananmu ini." Balas tetua.

"Kalau itu keinginan kalian, maka aku akan memenuhinya, namun sebelumnya aku perlu beristirahat dan bernafas sejenak, malam ini aku akan berbagi cerita kepada kalian, mengenai jawaban atas kejadian mistis yang selama ini kita alami." 


Seperti yang telah direncanakan pagi hari itu, setelah matahari tergelincir condong kebarat dan bulan mulai merangkak naik membawa selimut kegelapan malam untuk memberikan kedamaian bagi jiwa-jiwa yang lelah untuk beristirahat, mereka berkumpul, para penduduk di tengah alun-alun kampung menunggu kemunculan Tegar. 

Kemunculannya diiringi dengan sinar rembulan seolah-olah menjadi pertanda akan nasib baik dan jawaban yang memuaskan, atas pertannyan yang selama ini menghantui warga, yang akan segera terjawab. Suara riuh yang sebelumnya terdengar dari mulut warga yang komat-kamit penuh rasa penasaran, berbisik dan bercakap-cakap satu sama lain, segera hilang dan dengan munculnya batang hidung Tegar. 

Disana dia berjalan dengan mantap, melangkahkan kakinya satu demi satu dengan tatapan penuh percaya diri layaknya seekor kuda jantan yang telah dilatih untuk berjalan dengan gagah namun tetap terlihat anggun. Dia berdiri tepat ditengah keramaian, disaksikan puluhan pasang mata yang penuh rasa penasaran, haus akan jawaban dan lapar akan kepastian. 

Dia mulai membuka mulutnya dan berbicara, "Mungkin banyak dari kalian yang bertanya-tanya kenapa aku pergi begitu lama, bahkan aku percaya tidak sedikit dari kalian yang percaya bahwa aku telah tiada dan berkata bahwa tindakan ku adalah sebuah kecerobohan karena berani menentang kekuatan misterius yang selama ini menghantui kita. Namun hal itu sekarang tidaklah lebih dari isapan jempol belaka karena sekarang aku berdiri diantara kalian dan berbicara." 

sambil berhenti dan mengambil nafas panjang, juga mencoba menatap beberapa pasang mata sebisanya untuk melahirkan kepercayaan akan ucapan-ucapannya ia melanjutkan, "Perjalananku memakan banyak waktu karena tidak seperti yang aku sangka, penyebab dari kejadian mistis yang menimpa kita bersumber dari seberang lautan sana, aku harus menempuh perjalanan yang tidak singkat, namun sepadan menurutku, karena akhirnya aku tahu jawaban dari semua pertanyaan kita." 

"Disana, di seberang lautan itu, aku menemukan sebuah pulau terpencil yang dihuni oleh hanya beberapa keluarga. Kehidupan mereka bisa dibilang sangat mengenaskan, mereka terlihat sepertinya bukanlah orang-orang yang beradab, penampilan mereka sangat kumuh, kulit mereka terlihat seperti arang yang legam, mungkin karena terbakar matahari. Disana matahari menyegat sangat terik, siang hari terasa seperti dimasak di dalam oven, dan malam harinya terasa panas seperti siang hari tadi." 

"Namun aku menemukan hal yang sangat mengejutkan, sepertinya ditengah kesengsaraan hidup mereka, mereka cukup mahir menggunakan sihir. Setelah mengintai selama beberapa hari disana, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri mereka mempraktekkan sihir dan mantra." 

Kata-kata terakhir Tegar membuat keriuhan para penduduk kembali bangkit, kesunyian yang sedari tadi menyelimuti mereka kini hilang, rasa penasaran yang sedari tadi membuat mereka duduk membeku kini meleleh dan berubah menjadi histeria. 

Tiba-tiba seorang wanita berkata dengan lantang, "Jadi benar adanya, semua kecurigaan kita, bahwa kejadian-kejadian mistis yang selama ini menimpa kita adalah hasil perbuatan sihir dan mantra?" 

“Lalu… lalu… apa yang harus kita perbuat?” wanita lain menimpali. 

“Tamatlah kita!!” tiba-tiba seorang pria muda berteriak, teriakan itu memicu keributan, suara saling berasautan, ketenangan yang sedari tadi singgah beranjak begitu saja berganti dengan teriakan histeris, lontaran pertanyaan bahkan tangisan. 

Namun hal itu tidak berlangsung lama, semuanya tiba-tiba tidak bergeming begitu mendengar teriakan, “Diam semuan!! Tenang!!” suara itu terdengar dari salah satu sudut keramaian, suara yang sudah tak asing di telinga para warga, suara berat dan terdengar serak, yang keluar mengelegar dari ujung lidah si empunya, suara itu berasal dari tetua yang siang tadi menyambut Tegar. 

“Dalam keadaan seperti ini kita harus mampu mengontrol diri kita, kita harus mampu berpikir jernih, apabila kita tetap histeris dan tak mampu mengontrol diri kita, kita tidak akan menemukan jalan keluar, sekalipun ada, yang keluar hanyalah ide-ide dan tindakan bodoh, dan hal itu tak akan kubiarkan terjadi kepada kita, karena bertindak bodoh sama saja dengan bencana.” Lanjut pak tua itu. 

Setelah berbicara dengan lantang, pak tua mencoba berhenti untuk mengambil nafas, hal itu menyebabkan keheningan terjadi seketika, keheningan itu hadir bukan karena para warga telah mampu mengendalikan diri mereka, namun mereka kini telah tenggelam dalam ketakutan, ketidak pastian, dan rasa cemas. 

Keheningan itu mulai membuat semua orang merasa tidak nyaman, akhirnya Tegar kembali berbicara seraya mencuri perhatian warga untuk memecah keheningan. “Ya, benar sekali, apa yang dikatakan tetua tidaklah salah, mungkin memang benar saat ini kita sedang berhadapan dengan hal tidak bisa dibilang mudah, namun aku tidak akan mengatakan mustahil untuk menghentikannya. Meskipun hal tersebut berada diluar nalar kita, tapi aku yakin dengan bergotong royong, kita mampu menghentikannya, bahkan memusnahkan penyebab semua ini kalau perlu.” 

“Kalian dengar apa yang dikatakan oleh Tegar?” sambung tetua, “Mungkin hal ini akan sulit dilakukan, tapi bukan berarti tidak mungkin, selama ini kita selalu mengandalkan Tegar untuk melakukan tugas yang berat, namun dia dengan senang hati melakukannya dan menjadi sukarelawan. Mungkin ini adalah saatnya untuk kita bergerak, kita tidak bisa diam saja dan meringkuk ketakutan seperti anjing liar, kita harus bergerak dan menyelesaikan masalah kita sendiri.” 

“Ya benar tetua, selama ini kita telah berhutang banyak pada Tegar, ini saatnya kita membayar jasa-jasanya!!” Teriak seorang pemuda dari kerumunan penduduk. 

“Ya benar, ayo kita pergi, kita musnahkan mereka!!” 

“Ayo” 

Ketakukan dan kecemasan yang tadi menyelimuti diri mereka kini telah sirna, terbakar oleh api semangat yang dilontarkan oleh para penduduk, yang dipicu oleh seruan tetua kampung untuk ikut angkat senjata, sekali lagi, sebagai mana mereka mengusir para penjajah dulu. 


Kegelapan malam semakin terasa, keheningannya semakin mencekam, dinginnya malam semakin mengigit, namun hal itu tidak dihiraukan lagi oleh para penduduk kampung. Karena kini mereka telah terbakar oleh api dendam, diterangi oleh cahaya harapan dan diselimuti oleh panasnya kobaran semangat akan kelangsungan hidup mereka. 

Teriakan histeris yang sempat mewarnai perkumpulan ini kini menjelma menjadi lolongan penduduk kampung yang haus darah. 

“Baiklah semuanya, jika itu memang sudah menjadi kehendak kalian, maka dengan senang hati aku akan membantu kalian sekali lagi, sekali lagi saja untuk memusnahkan mereka.” Jawab Tegar 

“Tapi sebelum itu, akan lebih bijak sana jika kita menyusun rencana dan memperhitungkan segala kemungkinan yang akan terjadi sebelum kita pergi menuju pulau itu, benar begitu tetua?” 

Dengan cepat dan tanpa berpikir lagi tetua menjawab “Ya benar, apa yang kau katakan benar, sebaiknya kita menyusun rencana sebelum kita pergi, dan kita akan mulai melakukannya sesegera mungkin.” 

Sempat larut dalam keheningan tetua melanjutkan “Besok, ya mulai besok kita akan menyusun rencana, mungkin kita akan butuh beberapa hari untuk menyusunnya, besok pagi-pagi sekali, aku, Tegar dan beberapa orang di kampung ini akan menyusun rencana, untuk sekarang pertemuan kita bubarkan.” 

Dengan kalimat terakhir itu berbondong-bondong para penduduk membubarkan diri dari alun-alun. 


Sang surya kembali menyapa dunia dengan sinarnya, api yang menjadi sumber penerangan dimatikan dan roda kehidupan kembali dijalankan. 

Sesuai janji yang telah disepakati malam tadi, berkumpulah tetua, Tegar dan empat orang dewan lainnya, di sudut rumah tetua, tak lain untuk menyusun rencana. 

Tidak seperti malam tadi yang terasa begitu singkat dengan penuh dengan ketegangan, pagi ini perkumpulan ini lebih terasa lebih lama dan penuh dengan ketenangan. Percakapan seolah tiada akhir dari tiap-tiap inidividu, mereka saling melontarkan ide dan pendapat berdasarkan cara pandang mereka, keadaan menjadi sangat pelik. 

Udara yang dihirup mulai terasa mencekik, suasana ruangan itu tidak lagi bersahabat, keringat mulai bercucuran dan darah mulai naik hingga ke ubun-ubun. Perdebatan tak lagi bisa dihindari, sebuah pertemuan yang awalnya lahir dari sebuah kesepakatan, kini malah menjadi benih perpecahan. 
“Diam semuanya!!” Teriak tetua. 

Teriakan itu berhasil menghentikan cekcok yang mulai terjadi diantara mereka, adu mulut yang semula tidak dapat dihindari pada akhirnya berhasil diredam. Teriakan itu pula yang menjadi tanda bahwa tidak adanya kesepakatan diantara mereka, setelah berjam-jam saling berargumen dan berpeluh. 

“Kalau terus seperti ini, kita tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah kita, aku tahu, mungkin kita tidak dapat sepenuhnya saling setuju dengan gagasan yang masing-masing kita sampaikan. Namun setidaknya bisakah kita saling mendengarkan satu sama lain?” jelas tetua. 


Penyusunan rencana, seperti yang dikatakan oleh tetua, ternyata memakan waktu yang tidak sebentar, menguras tenaga yang tidak sedikit dan memeras keringat dari tiap inci tubuh mereka. 

Sebelum jatuh dalam palung perselisihan tanpa dasar, seperti yang terjadi pada hari-hari sebelumnya, akhirnya tetua dan para dewan memutuskan untuk menunjuk satu orang, hanya satu orang saja yang perlu menyusun rencana tersebut, dan ditunjuklah Tegar sebagai penyusun rencana tersebut. Hal itu bukannya tidak beralasan, namun melihat pengetahuan dan pengalaman tegar lebih banyak ketimbang anggota dewan lain mengenai musuh mereka ini. 

Maka rencanapun disusunnya seorang diri, hal tersebut ternyata terbukti efektif, hanya memakan waktu kurang dari satu hari untuk menyusun rencana seorang diri. Para dewan mulai menyesali waktu yang terbuang karena perselisihan mereka, begitu juga tetua. 

Namun Tegar berkata “Janganlah kalian menyesal atas apa yang telah terjadi, rencana ini bahkan belum dijalankan dan penyesalan kalian belum terbukti, jadi simpan itu sampai setelah kita menjalankan rencana ini.” 

“Baiklah jika kau berkata begitu, jadi beritahukanlah rencana yang telah kau susun kepada kami.” Kata tetua 

“Rencananya sangatlah mudah, aku akan membutuhkan banyak minyak, atau bahan-bahan yang mudah untuk terbakar, korek api dalam jumlah besar, dan bantuan dari seluruh warga kampung. Ya setidaknya semua laki-laki dari kampung kita.” Jelas Tegar 

“Begitukah? Lalu sebenarnya apa yang hendak kau lakukan dengan barang-barang itu?” tanya tetua 
“Mudah saja, kita akan membakar pulau itu, beserta dengan kampung dan semua penduduk yang ada di dalamnya. Pulau itu seperti yang telah aku katakan sangatlah panas, dan menurutku tidak mungkin hujan akan turun dan membasuh kebakaran yang kita sebabkan, kita bahkan tidak perlu berhadapan dengan mereka, yang kita perlu lakukan hanyalah  menyebrang dan menyulut api dari beberapa sudut pulau.” 
“Pintar sekali, bahkan hal itu tidak terbesit dalam pikiranku sama sekali. Baiklah kalau begitu aku akan segera menyampaikan rencana ini, kepada seluruh penduduk kampung, dan besok pagi-pagi sekali kita akan pergi untuk menjalankan rencana kita.” Jelas tetua. 


Pagi-pagi buta, saat ayam masih bertengger di dalam kandangnya, nyanyian burung-burung belum terdengar, sang surya juga masih enggan untuk menapaki langit. Sesuai dengan kesepakatan, para pemuda dan orang dewasa yang telah bersiap-siap sedari malam mulai bermunculan dan berkumpul di alun-alun kampung. 
Tegar juga telah menampakkan batang hidungnya tepat di tempat dimana dia berdiri pada beberapa malam sebelumnya, dilihatnya segerombolan penduduk yang kelihatan siap dengan segala peralatan mereka dan tekat. Ya, tekat untuk membebaskan kampung mereka sekali lagi dari belenggu, namun kali ini dari belenggu para pengguna sihir itu. 

Maka dengan berbondong-bondong mereka pergi menuju tempat yang telah digambarkan oleh Tegar dan menjadi momok bagi mereka untuk beberapa malam terakhir. 

Perjalanannya bukannya tidak mudah, namun tidak bisa dikategorikan sebagi sebuah kesulitan, kesulitan justru hadir disaat mereka sudah sampai di tepi pantai. Pulau yang berisi orang-orang terkutuk itu berada tepat dipelupuk mata, sangat dekat dengan pandangan namun jauh dari jangkauan. 

Para penduduk mulai bertanya-tanya dengan apa mereka akan menyeberangi lautan itu? Petanyaanpun mulai ditodongkan kepada Tegar. 

“Tegar, bagaimana kita menyeberang pulau dan membawa semua minyak dan barang-barang ini?” tanya seorang warga. 

“Ya, kita tidak mungkin berenang untuk mencapai ke pulau tersebut, tidak mungkin dengan semua barang ini.” Protes warga kampung yang lain. 

Dengan penuh percaya diri tegar berkata “Tenang saja kita tidak perlu berenang untuk mencapai pulau tersebut, kita akan membuat rakit, itulah mengapa aku butuh bantuan banyak orang untuk menjalankan rencana ini. Di pantai ini terdapat banyak pohon kelapa yang kita bisa jadikana rakit, sebaiknya kita mulai membangun rakit dari sekarang.” 

Maka para penduduk saling bahu-membahu untuk membangun rakit, mereka memotong, mengukur, mengikat dan akhirnya meletakan batang-batang pohon tersebut diatas air, dan jadilah rakit itu. 

Namun diantara penduduk desa, hanya Tegar dan tetua sajalah yang tidak ikut membantu membangun rakit, tetua tidak mungkin ikut membantu karena kondisinya yang sudah tua, lalu Tegar, sedang menyiapkan bahan-bahan dan minyak untuk nanti disulut segera sestelah mereka mencapai pulau tesebut. 

Segera mereka menyebrang ke pulau tersebut, namun karena mereka kelelahan setelah membangun rakit selama hampir seharian, akhirnya hanya Tegar dan tetua lah yang pergi untuk menyulut api di pulau itu. Sementara para penduduk lain berisirahat dibawah pohon di pinggir pantai. 

Namun keanehan mulai terjadi, entah disengaja atau tidak, mereka berdua menyulut api terlalu dekat dengan tempat dimana mereka memarkirkan rakit mereka di tepi pantai. Kecurigaanpun mulai muncul dalam hati tetua, namun dia menggap ini hanyalah ketidak sengajaan belaka. 

Ditengah lamunannya, tiba-tiba tetua merasakan angin berhembus dengan kencang dari tengah pulau dana api yang tadi mereka sulut, kini malah menjalar kepantai dan mulai membakar rakit mereka. 

Tetua mulai panik melihat hal tersebut dan belali sambal berteriak menuju Tegar, “Tegar…. Tegar…. Rakit kita terbakar… rakit kita terbakar oleh api yang tadi kita sulut.” 

Namun bukannya terkejut, Tegar justru tertawa dengan lepas. Hal ini sontak memuat tetua semakin panik dan kaget dengan kejanggalan yang terjadi. 

Tetua pun kembali berteriak kepada tegar “Tegar kenapa kau malah tertawa? Apa kau bodoh? Rakit kita terbakar, kita tidak mungkin kembali kepantai tanpa rakit.” 

“Kalian, bukan kita, karena aku sudah menemukan cara untuk kebali ke pantai seberang.” Tegar berkata sambal tersenyum, seraya menunjuk sebuha perahu yang tiba-tiba muncul entah dari mana berada tidak jauh dari bibir pantai. 

Pada saat itu juga tetua sadar bahwa selama ini mereka telah dibodohi. 

“Tegar, kenapa kau tega sekali menjebak kami, kenapa kau begitu jahat terhadap kami?” tetua teriak sekuat tenaga, sementara tegar berlari menuju lautan dan mulai berenang kearah perahu tersebut. Setelah ia berhasil mencapai perahu itu dan menaikinya, ia pun berteriak kepada tetua. 

“ya, kalian tahu? Satu-satunya kejahatan yang ada di dunia ini adalah kebodohan kalian, yang mudah tertipu dengan segala bualan dan kebohongan yang telah aku rencanakan. Dan satu-satunya keajaiban yang ada di kampung kita adalah peluang bisnis. Kalian tahu kenapa para penjajah itu mau dengan bersusah-payah datang hanya untuk menduduki kampung usang ini? Jawabannya tepat berada dibawah kaki kalian selama ini berdiri…” 

“Tanah?” jawab tetua. 

“Lahan lebih tepatnya, ya kau memang sangat cocok menjadi tetua kampung ini, selain karena umurmu yang sudah senja, sedikit kepintaranmu dan kebijaksanaan menurut penduduk kampung bodoh ini. Meskipun semua itu belum cukup untuk menyedari betapa bodohnya kalian dapat terjebak dalam bualanku, hahahaha.” Jawab Tegar yang kini berada diatas perahu kecil itu, dan mulai menghilang dari pandangan penduduk kampung yang malang. 

Kini api mulai menjalar kesemua sudut pulau, asap mulai membungbung tinggi, api terlihat menari-nari diiringi teriakan histeris dan jeritan para penduduk desa yang mulai terbakar yang terdengar layaknya musik. 
Para penduduk desa yang sedari tadi sedang beristirahat terlalu Lelah untuk berenang menuju kelautan, dan kini sosok mereka yang mulai berdiri berjejer di bibir pantai, muali dilahap oleh api satu persatu. 
Perahu itu mulai menjauh dari pulau dan mencapai sisi pantai tempat darimana Tegar dan penduduk kampung datang, pengayuh perahu mulai penasaran melihat senyuman dan sorot mata Tegar yang menyiratkan kemenagan. 

“Lalu bagaimana dengan penduduk kampung yang tersisa? Tidakah mereka akan curiga dengan apa yang terjadi terhadap penduduk kampung yang pergi bersamamu?” tanya pengayuh perahu itu. 

Mengernyitkan dahi dan menatap dengan tajam, Tegar berkata, "Kawan, kata-kata adalah senjata bagiku, para penduduk di kampung itu tidaklah lain dari pada segerombolan orang dungu yang dapat terkesima oleh kata-kata manis karanganku. Pujian dan nama yang mereka sematkan kepadaku tidak membuatku terkejut, mengingat betapa bodohnya mereka. bahkan, hanya dengan sedikit melebih-lebihkan aku dapat mendapat perhatian dan rasa hormat dari mereka. Hasratku adalah untuk menguasai dunia bukan hanya duduk diatas tumpakan tanah yang mereka sebut kampung itu. Yang perlu aku lakukan hanyalah mengarang cerita lain, mengkisahkan bagaimana para penduduk desa dengan gagahnya gugur dalam medan pertempuran saat kami berhadapan dengan musuh. Bukankah itu yang selama ini leluhur kita lakukan? Umat manusia selalu mengagung-angungkan diri mereka dan melukiskan kisah mereka dngan kata-kata indah, seolah mereka adalah yang paling sempurna. Seolah-olah kawan, seolah-olah, hahahahaha.” 

Mereka berdua pun tenggelam dalam tawa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Novel Terusir Karya Buya Hamka

Ulasan mengenai novel terusir Judul Novel Terusir Penulis Buya Hamka Sinopsis Bercerita tentang perjalanan hidup Mariah, seorang wanita dari kalangan biasa yang terusir kehadirannya dari hidup Azhar suaminya dan Sofyan putra mereka. Ia kemudian terpaksa melanjutkan kehidupannya tanpa arah dan tujuan, sendirian di jalanan tanpa tempat untuk kembali, karena kedua orang tua Mariah telah meninggal, dan ia tidak memiliki sanak saudara. Diujung hidupnya yang penuh ketidak pastian dan penderitaan, satu-satunya hal yang dapat membuatnya bertahan adalah cintanya terhadap Sofyan putranya, bahkan setelah ia jatuh kedalam palung kehinaan paling dalam di hidupnya ia masih bertahan, dengan pengharapan kelak ia dapat bertemu dan mencurahkan rasa cintanya kepada Sofyan. Ulasan Terusir adalah sebuah novel yang bercerita tentang cinta, romansa kehidupan, dan permasalahan pelik yang menimpa sebuah rumah tangga yang hadir diakibatkan oleh sifat iri dan dengki, juga sebuah penggambaran secara nya

Cerpen: Persoalan Minta Minta

"Allahhu akbar.... Allahhu akbar....." dengan merdu Azan dilantunkan sang muazin, sebuah masterpiece, lantunan syair yang digumamkan tanpa alunan musik hanya bermodalkan pita suara, lebih merdu dibandingkan musik Mozart. Merdu, lantaran hanya mereka calon penghuni surgalah yang mampu menikmatinya -bukankah semakin sedikit penikmatnya semakin tinggi nilai hal tersebut- dan membuat mereka mampu melangkahkan kaki, melepaskan diri dari belenggu duniawi dengan segala gegap gempitanya. Sebuah panggilan akan deklarasi lemahnya sekaligus kuatnya seseorang yang menghamba kepada Allah. Lemah karena mereka tau bahwa mereka selalu hidup dalam ketergantungan, kuat karena mereka mampu memecah rantai belenggu dunia meski hanya sepersekian menit. Otong bergegas, berlari tunggang langgang menujur kamar dan segera berhadapan dengan almarinya. Digantinya pakaian main dengan kain sarung, songkok hitam dan baju koko putih, serta menjambret sajadah. Siap sedia dengan shalat