Senin 20 mei 2019
Hari ini seperti hari biasanya saya membuka applikasi whatsapp, atau mengecek kalau boleh saya tulis. Selain melihat apakah ada orang yang memiliki keperluan dengan saya atau hanya sekedar menulis kepada saya melalui applikasi tersebut, juga percakapan-percakapan yang terjadi di dalam grup. Percakapan antara anggota grup yang terkadang tidak perlu dibicarakan secara terbuka di grup, dan akan lebih tepat apabila dilakukan secara personal, namun sepertinya bukan ketepatanlah yang mereka inginkan, pikir saya.
Terkadang kita melihat tidak sedikit percakapan yang terjadi dalam sebuah grup atau kelompok percakapan, boleh saya tulis seperti itu, dilakukan hanya oleh dua orang dan menggunakan topik yang tidak relevan dengan anggota kelompok percakapan yang lain, selain mereka berdua. Sering kali saya bertanya dalam diri saya sendiri, sebenarnya apa yang mereka bicarakan atau perihal apa sehingga mereka perlu membicarakan hal tersebut di dalam kelompok percakapan?
Setelah saya berpikir secara cepat dan tidak serius, pertanyaan tersebut bukannya terjawab dan melahirkan jawaban malah mengadopsi pertanyaan lain, yang kemudian berkembang menjadi pertanyaan-pertanyaan lainnya, semakin banyak, semakin kompleks. Seperti pernyaan, apa makna utama atau esensi dari kelompok percakapan itu sendiri? Apakah tujuan dari terbentuknya kelompok percakapan tersebut? Apakah anggota dari kelompok percakapan yang ada memang relevan dengan tujuan yang diingakan dan topik yang akan dibicarakan dalam kelompok percakapan itu? Apakah ketidaksertaan anggota kelompok percakapan dalam pembicaraan yang berlangsung membuat anggota tersebut tidak perduli dengan anggota yang lain? Atau boleh disimpulkan oleh anggota yang lain seperti itu? Bagaimana bila percakapan atau pembicaraan yang dilakukan justru tidak relevan dengan anggota lain? Apakah isitilah silent reader itu ada sekedar untuk dilekatkan pada anggota yang tidak aktif, baca ikut percakapan, atau sekedar tindakan buli dari anggota lain?
Pertanyaan demi pertanyaan akan terus bermunculan jika saya terus mencoba berpikir atau menjawab pertanyaan tersebut, maka dari itu saya mencoba menerima pertanyaan itu dibanding mencoba mencari jawabannya. Namun kalau saya boleh menarik hal ini dari fungsi atau kegunaan applikasi itu sendiri, sejauh yang saya ketahui berdasarkan ke sok tahuan saya, hadirnya applikasi seperti whatsapp dan sejenis, aplikasi chatting, adalah untuk mempermudah komunikasi jarak jauh yang merupakan perkembangan dari alat komunikasi jarak jauh sebelumnya seperti surat dan telepon, juga untuk memenuhi kebutuhan manusia akan komunikasi antar sesama, dimana kita tahu bahwa manusia adalah mahluk sosial. Meskipun pada kenyataanya tidak sedikit dari kita yang justru terisolasi dari dunia sosial di sekitar kita karena terlalu fokus pada applikasi ini, serta akibat terlalu giat untuk mengejar mereka yang ada di kejauhan dan melupan mereka yang ada disekitar kita, secara fisik.
Seiring berkembangnya waktu, applikasi ini juga memiliki perkembangan, menghadirkan fitur-fitur baru yang kekinian, dengan tujuan yang tidak jauh berbeda yaitu untuk mempermudah komunikasi jarak jauh, hadirnya fitur seperti voice note, video call, broadcast, Image massage, story, group call, group video call, reply massage, dan masih banyak fitur lainnya, selain untuk mempermudah, terkadang kita menemukan justru malah mempersulit keadaan seseorang utuk berkomunikasi. Bagaimana bisa mempersulit? Dengan hadirnya banyak fitur dan update yang secara berkala maka kita harus secara berkala pula untuk membiasakan diri dengan fitur yang ada, terkadang fitur yang kita gunakan sudah tidak relevan atau kuno, dibandingkan dengan fitur yang lawan bicara kita gunakan, sehingga terjadi kesenjangan yang kadang membuat pesan yang disampaikan tidak diterima atau tidak diterima secara utuh.
Kembali lagi kepada percakapan di grup atau kelompok percakapan, kalau boleh saya mengeneralisasikan, banyak dari kelompok percakapan dibentuk dengan tujuan untuk mengikat tali silaturahmi, atau setidaknya seperti itu embel-embelnya. Namun apa yang saya rasakan selama beberapa tahun menggunakan applikasi percakapan dan menjadi anggota dari kelompok percakapan tersebut adalah sebaliknya. Banyak dari kelompok percakapan yang justru malah mencerai-berai, melukai tali silaturahmi yang ada, saya tidak akan menulis menghancurkan karena tali itu masih ada, namun mungkin akan kusut.
Kalau saya boleh mengambil contoh, saya akan menggunakan percakapan yang biasanya hadir pada bulan Ramadhan di tiap-tiap kelompok percakapan, yaitu ajakan untuk buka puasa bersama. Sudah menjadi kebiasaan atau rutinitas, kalau boleh saya tulis, apabila bulan Ramadhan tiba, banyak dari umat manusia, khususnya kalangan muda muslim, dalam konteks ini umat manusia hanya dalam cakupan Indonesia, berlomba-lomba untuk mengadakan acara buka bersama atau isitlah bekennya “Bukber”. Acara bukber ini biasanya dilakukan oleh kalangan muda-mudi yang menjalankan ibadah puasa, kalangan muda-mudi disini berakhir pada usia pensiun jadi mereka yang masih aktif bekerja saya kategorikan sebagai muda-mudi, meskipun tidak sedikit dilakukan juga oleh mereka yang tidak atas nama solideritas totalitas kawan, disingkat sotokaw, dan acara bukber ini dilakukan tidak hanya sekali, namun bekali-kali tergantung tiap kelompok yang personal masuki, apabila dia merupakan anggota dari banyak kelompok, wajarnya dia akan menghadiri acara bukber.
Apabila pembaca bertanya pada sisi mana kelompok percakapan melukai tali siraturahmi yang ada, maka sebenarnya hal itu ada di paragraf ini. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya apabila seorang personal atau individu merupakan anggota dari banyak kelompok, wajarnya dia akan menghadiri banyak acara bukber, namun bagaimana kalau acara bukber satu dan yang lain dilangsungkan secara bersamaan? Atau bagaimana apabila personal tersebut tidak dapat menghadiri acara bukber. Pada level ini sewajarnya anggota kelompok percakapan yang lain akan memaklumi absensi dari personal tersebut, namun tidak sedikit dari mereka yang tidak terima akan hal ini, bahkan apabila mereka mereka menerima hal ini, itupun dilakukan setelah mereka menyerang personal tersebut dengan sindiran atau pertunjukan ego, boleh saya tulis seperti itu. Contoh yang lebih nyata adalah seperti penggalan percakapan seperti ini “susah emang kalo sama orang sibuk.” Atau “kalo udah sukses mah beda.” Atau “sombong amat.” Meskipun penggalan percakapan tersebut terkesan remeh-temeh dan biasa, namun hal tersebut secara tidak langsung adalah representasi dari ego yang hadir dalam tiap-tiap anggota kelompok percakapan tersebut, kalau boleh saya berasumsi, hal ini secara tidak langsung menghadirkan makna bahwa, dari acara bukber yang akan dilakukan bukanlah kehadiran personal atau individu yang mereka harapkan tapi kuantitas kelompok yang akan hadir pada acara bukber tersebut. Mereka melupakan kualitas keintiman merupakan esesnsi sesungguhnya dari silaturahmi dan bukan kuantitas kelompok tersebut, mereka sibuk menghitung angka dan melupakan makna, dan hal itulah yang melukai tali silaturahmi.
Jika saya boleh mengatakan, apabila ada percakapan antara dua orang, dan dua orang saja di dalam suatu kelompok percakapan dengan topik percakapan yang tidak relevan dengan anggota lain dalam suatu kelompok, saya boleh mengatakan hal itu ada karena representasi ego dari dua orang tersebut, entah itu ego untuk menunjukan sesuatu, atau mengharapkan sesuatu, namun hal itu menurut saya menjadi wajar, karena manusia itu adalah mahluk yang egois dan bukan yang memiliki jiwa sosialis, meskupun kita diciptakan sebagai mahluk sosial, tujuan kelompok dibentuk akibat adanya tujuan individu bukan tujuan komunal, apabila tujuan komunal hadir hal itu ada hanya sebagai perwujudan dari persamaan tujuan individu, tidak lebih. Meskipun setiap orang memiliki perbedaan dalam berpendapat, tapi saya tidak akan menghormati pembaca yang memiliki pendapat yang berbeda dengan saya, kecuali dia tidak mengungkapkannya atau mengungkapkannya di tempat lain. Ahmad Fauzy, sekian.
Komentar
Posting Komentar