Langsung ke konten utama

Cerpen: Cinta di Ujung Suara

Sumber : https://twitter.com/SaungbingkaiDh1/status/1004021490231021569

Rutinitas, rutinitas, rutinitas, sebuah belenggu yang menurutku sah-sah saja semua orang mengeluh dan merasa ingin terlepas darinya, tapi, banyak juga orang yang sadar bahwa hal itu tidaklah mungkin terjadi untuk selama-lamanya, atau mereka sadar bahwa melepaskan rutinitas hanya bisa terjadi dalam sekejap mata, poof kau bebas, dan poof kau terikat kembali.

-

Masih di waktu petang aku menunggu kedatangan MRT dari stasiun Blok M untuk pulang menuju stasiun Lebak Bulus. Semuanya terasa begitu membosakan, suara klaksok tiap kendaraan mulai terdengar padat memenuhi tiap ruang yang ada dalam telinga, suaranya bersaut-sautan seperti orkestra jalanan. Belum lagi angin dingin waktu petang yang mulai berhembus, ia selalu datang saat sang surya mulai meninggalkan belahan bumi yang kupijaki dan menanggalkan rasa hangat dari sinarnya. Membuatku menggigil akibat dingin yang menyengat, dan semua rasa dingin ini mengingatkanku akan kepedihan dan kesendirianku selama ini.

Tidak ada yang istimewa sore itu, hanya seperti biasanya, rutinitas, aku berdiri, kadang juga duduk di bangku panjang menunggu datangnya MRT. Mencoba mendengarkan musik dari telepon genggam, mencoba tenggelam di dalamnya dan ikut bernyanyi. Mencoba menghilangkan gaduh suara klakson kendaraan dari para pengendara egois di luar sana dengan menikmati aroma stasiun pun tidaklah mungkin bagiku, tidak ada hal istimewa disana, mungkin kadang aku membaui beberapa merek parfum yang aku kenal saat beberapa orang lewat, terutama wanita, tapi lebih sering aku hanya mencium aroma alami yang dikeluarkan oleh orang-orang, keringat, terutama dari para pria. Hal itu wajar, mengingat sekarang memang sudah waktunya pulang, semua orang sudah memeras keringat mereka, sebagian membanting tulangnya, dan kebanyakan menjadi pelacuran waktu, menilai waktunya dengan harga, harga yang hanya setara jumlah uang yang tidak seberapa.

Tapi hal itu tidak senantiasa membuat semua orang menjadi ketus dan sinis seperti aku, tidak semua, karena banyak dari mereka yang baik kepadaku, hampir setiap orang yang kutemui saat aku ingin menyebrang jalan, selalu mengulurkan tanganya, petugas MRT selalu menuntunku saat ingin naik kedalam kereta, dan kadang ada beberapa penumpang di dalam MRT yang rela menyerahkan kenyamanan bangkunya untuk aku duduki. Entah aku harus menyebut keadaan ini masih sebagai kutukan atau justru bersyukur terhadapnya sebagai sebuah berkah, yang aku tahu tidak ada orang yang ingin berada di posisiku saat ini, yang aku tidak tahu apakah hal itu benar adanya.

Masih di sore yang sama, saat srara deru kereta MRT mulai terderangar mendesing dari salah satu penjuru rel, aku berdiri dari tempat dudukku, dan bersiap-siap. Bersama penumpang lain aku mulai naik kedalam gerbong secara teratur. Seperti yang aku katakan, banyak dari penumpang yang memberikan tempat duduknya untuk kududuki, karena perjalanan akan berjalan lumayan singkat hanya sekitar sepuluh sampai lima belas menit, terima kasih atas kecepatan MRT, aku mencoba untuk fokus pada suara pemberitahuan kereta yang menerangkan mengenai posisi pada stasiun apa kereta MRT saat ini berhenti, apakah sudah sampai di stasiun Lebak Bulus atau belum. Namun, hal itu sangat sulit dilakukan, selain gemuruh suara laju kereta di rel, hiruk pikuk suara penumpang yang bercakap-cakap juga selalu membuatku teralihkan, terlebih lagi sore itu ada suara lain yang tidak biasa.

Lantunan merdu suara dari gesekan senar biola terdengar melengking dari salah satu sudut gerbong, suara itu mulai menghantui tiap-tiap telinga yang mendengarnya, masuk melalui lubang, menabuh gendangnya dan keluar sebagai pujian dan tepuk tangan. Aku tidak menyangkal bahwa ia sangat piawai memainkannya, aku juga setuju dengan puji-pujian yang dilayangkan oleh penumpang lain, mengenai permainannya dan suara merdu yang dihasilkan.

Aku sempat bertanya-tanya, apakah diperbolehkan untuk bermain biola di dalam kendaraan umum seperti MRT? Bukankah sudah ada peraturan yang jelas berbunyi bahwa dilarang membuat kegaduhan di dalam kendaraan umum. Namun setelah aku telaah lebih dalam, peraturan itu berbunyi dilarang membuat kegaduhan, dan kegaduhan berarti bunyi yang mengganggu penumpang lainnya, dari semua pujian dan tepuk tangan yang aku dengar, bunyi itu dapat disimpulkan tidak mengganggu.

Setelah tidak bisa untuk fokus pada suara pemberitahuan kereta, akhirnya aku malah mencoba untuk fokus pada suara permainan biola tersebut. Waktu berjalan, saat aku mendengarkannya secara sekilas, suara itu sangat memukau, permainannya dapat dikatakan berkelas, dan nada yang dihasilkan tidak meleset, namun ada hal lain saat aku mencoba untuk mendengarkannya sekali lagi dengan lebih seksama. Terdengar seperti suara tangis, aku tidak terlalu yakin, namun suara itu membuat seolah-olah semua tawa bahagia dan pujian itu pupus.

Bagiku suarannya terdengar sendu dan pilu, menggambarkan kenestapaan dan rasa kehilangan yang sangat dalam, luka hati yang aku bahkan tidak tahu apa sang waktu bisa menyembuhkannya begitu pula sang kala yang terdengar tidak bernafsu untuk melahap luka itu bulat-bulat. Mungkin tidak semua orang menyadari ini, karena mereka terlalu terpaku terhadap apa yang terdengar sekilas, terlebih lagi mungkin atas apa-apa yang terlihat, mungkin karena parasnya yang rupawan, sehingga mereka tidak mencoba mencerna dan merasa apa yang sebenarnya dilantunkan, aku tidak tahu.

Berbicara soal waktu, waktu berjalan cepat dan tanpa sadar seseorang menepuk pungguku dan berkata bahwa kini kereta MRT telah sampai di stasiun Lebak Bulus, lalu dia menolongku untuk turun dari kereta dan menuntunku untuk keluar dari stasiun. Semua berjalan dengan cepat dan begitulah sore itu terasa sedikit berbeda dari rutinitas yang biasa aku jalani, dan aku berharap dapat mengalami tiap perbedaan itu agar tidak terjebak dalam rutinitas seperti hari-hari biasanya.

Hari berlalu begitu cepat, aku harus kembali pergi ke tempat kerja, layaknya orang banyak untuk memeras keringat dan menjualnya dengan ganjaran beberapa lembar rupiah. Selepas itu aku kembali harus pulang menggunakan MRT karena itu adalah satu-satunya cara praktis dan terjangkau menurutku. Seperti pada sore sebelumnya, kembali aku mendengar lantunan biola di dalam gerbong MRT tersebut, dan seperti sebelumnya permainannya tetap terdengar menakjubkan namun juga menyesakkan dada di saat yang bersamaan. Hal itu terus terulang tiap harinya, tiap kali aku pulang dari tempat kerjaku.

-

Entah kenapa mendengarkan permainan biola di dalam MRT selepas pulang dari tempat kerja malah terulang secara terus menerus dan berkala, sehingga menjadi rutinitas baru. Tapi untuk pertama kalinya aku merasa tidak terikat dengan rutinitas yang ada, aku malah merasa rutinitas ini membuat rasa penasaran dalam diriku tumbuh kian besar. Aku selalu bertanya-tanya siapa yang memainkan biola tersebut? Kenapa dia memainkannya di dalam MRT? Dan kenapa meskipun permainannya terdengar menakjubkan namun aku tidak merasakan adanya kebahagiaan dari tiap nada yang dihasilkan?

Semua pertanyaan itu terus berdengung di kepalaku, dengungannya mulai mengganggu ketenanganku, aku mulai bernafsu untuk mengetahui semua jawaban dari pertanyaan itu, entah kenapa. Hingga pada satu sore, tanpa kusadari ternyata ia berada di gerbong yang sama denganku, aku mulai menyadari itu ketika mendengar lantunan nada-nada dari biola itu begitu jelas. Didorong oleh pertanyaan-pertanyaan yang terus mengganggu, aku memberanikan diri untuk menghampirinya, dan bertanya, berharap mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku.

“Hai.” Aku mencoba membuka. Namun tampaknya ia tidak merespon, maka aku mencobanya sekali lagi.

“Hai, permainan biola yang bagus.”

“Terima kasih.” Dia menjawab dengan nada datar.

Seorang wanita, dari suaranya dia kedengaran tidak terlalu tua, juga bukan seorang anak kecil, mungki ia seorang gadis muda, sepertinya usia kami tidak terpaut jauh. Dia kedengaran tidak bersahabat, tidak ada kehangatan yang dapat kurasakan dari kata-katanya.

“Apa kau biasa bermain biola di tempat umum?” aku mencoba membangkitkan percakapan.

“Tidak juga.” Tukasnya.

“Memangnya kita diperbolehkan untuk bermain alat musik di dalam MRT?” kembali aku mencoba memancing ketertarikannya untuk bercakap-cakap.

“Aku tidak tahu kalau kita diperbolehkan atau tidak, tapi yang kutahu tidak pernah ada orang yang melarangku bermain.”

“Kau benar, menurutku permainanmu menakjubkan, tapi entah kenapa nada yang kau hasilkan terasa asing.”

“Begitukah menurutmu?”

“Ya.”

Semua usahaku kelihatannya tidak berjalan dengan lancar, aku tidak pernah menyangka sebuah percakapan sederhana akan membuatku tertarik, entah kenapa aku ingin berlama-lama becakap-cakap dengannya. Entah hal ini hanya untuk pemenuhan rasa ingin tahuku dan menjawab semua pertanyaan dalam kalbuku, atau murni rasa ketertarikanku padanya, entah. Namun pada akhirnya kami hanya duduk dalam diam.

-

Hari berjalan lambat, entah kenapa pekerjaanku terasa begitu berat, pikiranku mulai terasa penat, secara kebetulan aku mulai merindukan tempat biasanya aku berkutat, MRT. Di tempat aku bekerja, pikiranku justru melayang ke tempat yang seharusnya tidak terpikikan.

Waktu bergulir, tiba saatnya bagiku untuk pulang, entah kenapa aku merasakan datangnya sebuah kepuasan, aku tak dapat memastikan apakah itu disebabkan rasa bosan akan pekerjaanku atau kerinduan yang tidak dapat dijelaskan yang tiba-tiba hadir, mungkin hal ini datang dari suara biola itu.

Kembali aku mendengar lantunan biola tersebut di dalam MRT yang aku tungganggi, seperti biasa pujian adalah salah satu hal paling lumrah yang aku dengar dari penumpang lain, bagaimana piawainya ia memainkan biola. Namun, semakin aku mendengarkan lantunannya, semakin terasa pesan kesedihan yang coba ia bawakan, aku tidak tahu apakah itu yang coba ia sampaikan atau aku yang salah meninterpretasikan. Merasa percuma bila hanya diam dan berpikir saja, kulangkahkan lagi kakiku dan kembali aku mencoba berbicara kepadanya.

“Hai.” Kembali aku mencoba memulai percakapan.

“Hai.”

“Aku pria yang kemarin.”

“Ya, aku mengingatmu.” Jawabnya singkat.

“Seperti biasa permainan biolamu sangat menakjubkan.”

“Begitukah?” Dia terdengar tidak tertarik.

“Kau ingat saat aku bilang ada yang aneh dengan permainanmu?”

“Ya.” Jawabnya singkat dan dengan nada datar, menunjukan ia mulai merasa bosan dan tidak nyaman dengan percakapan ini.

“Aku merasakan adanya kesedihan, seperti rasa kehilangan, layaknya sebuah tangisan.”

Tidak ada suara yang terdengar, ia terdiam, aku tidak tahu apakah ia meradang dengan kegigihanku yang mencoba membuka percakapan dengannya, atau ia hanya sekedar tidak menengarkan.

“Apa kau sedang bersedih?” kembali aku bertanya.

Tiba-tiba terdengar isak, suaranya terdengar gemetar, nada bicaranya menjadi lebih rendah. “Tidak.”

“Tapi cara kau berbicara tidak berkata demikian.” Aku mencoba menyangkal.

“Aku tidak tahu harus berkata apa.” Nada rendahnya mulai menyiratkan bahwa dia mulai terbuka dengan percakapan ini.

“Kalau kau memang tidak tahu, sebaiknya kau mengatakannya saja, mungkin aku tahu dan bisa memberitahu, sekalipun tidak, setidaknya aku bisa mencoba.”

“Kau benar saat berkata ada yang aneh dengan permainanku, kau juga benar aku sedang bersedih. Apakah menurutmu hal yang aneh jika aku bermain biola disaat aku bersedih?”

“Setiap orang punya caranya tersendiri untuk mengekspresikan kesedihan, karena kesedihan tidak selalu mengalir bersama tetasan air mata.”

“Ya, aku juga sudah tidak tahu sudah berapa lama aku tidak bisa mengeluarkan air mata, yang aku tahu, aku tidak akan bisa menahan rasa kesedihan ini, karena itu aku mengeluarkannya lewat irama dan lantunan nada-nada biola, karena itu satu-satunya hal yang aku tahu, satu-satunya hal yang aku bisa.” Ia mencoba menjelaskan dengan nada rendah dan sedikit isak.

“Ya, aku mengerti apa yang kau rasakan, saat aku bersedih aku juga melakukan hal yang bisa aku lakukan, mencoba mendengar dan merasakan keadaan sekitar.” Aku berkata demikian untuk menunjukan rasa simpati.

“Kau tahu, kau orang pertama yang tidak hanya memujiku, kebanyakan orang hanya perduli dengan irama dan caraku bermain, mereka hanya mendengar bunyi yang aku hasilkan tapi tidak merasakan perasaan yang ada di dalamnya.”

“Mungkin karena mereka tidak hanya mendengar, tapi juga melihat, sehingga mereka lupa untuk merasa, mereka menilai hanya berdasarkan apa-apa yang terlihat dan terdengar. Dan aku, aku hanya bisa mendengar, jadi aku selalu fokus dengan apa-apa yang aku dengar, mencoba merasakan perasaan yang coba disampaikan dari tiap bunyi dan suara.”

“Maaf, aku tidak menyadari kalau kau tidak bisa melihat selama ini.”

“Tidak perlu, aku sudah terbiasa, aku terlahir dengan keadaan seperti ini dan aku sudah terbiasa. Tapi kalau boleh aku tahu kenapa kau bersedih?”

“Selama ini aku hidup hanya bersama dengan ayahku, ia adalah orang yang mengajarkanku segalanya, termasuk bagaimana caranya bermain biola.”

“Ayahmu pasti sangat berbakat.” Aku mencoba memuji untuk menaikan semangatnya.

“Mungkin, tapi ia tidak pernah mendapat kesempatan, ia selalu bermimpi untuk menjadi pemain biola profesional, tapi sepertinya dunia tidak mengizinkannya, sewaktu kecil ia meninggalkan pendidiknya untuk belajar bermain biola, dan ketika dewasa tidak ada hal lain yang dapat ia lakukan kecuali bermain biola. Kami selalu hidup dalam keadaan sederhana, kami selalu hidup untuk hari ini, tanpa rencana untuk hari esok. Ayahku bekerja untuk kami hidup di hari ini dan selalu khawatir akan datangnya esok hari, ibuku bahkan meninggalkan ayahku sewaktu aku masih balita, karena ketidak pastian hidup bersama dengan ayah, dan ia meninggalkanku karena ia tidak bisa membawa beban. Suatu hari ia mendapat tawaran dari salah satu kenalannya untuk bekerja membantu pembangunan jalur MRT, dan terjadi kecalakaan, mungkin kau sudah bisa menebak sisa ceritaku. Aku sudah lupa seperti apa hangatnya pelukan seorang ibu, dan sekarang aku juga tidak akan pernah lagi merasakan hangatnya pelukan ayahku.” Kembali ia bercerita dengan nada rendah dan isak tangis yang mulai sering terdengar.

“Tapi aku tidak setuju dengan pernyataanmu.” Jawabku singkat.

“Kenapa?” Ia bertanya dengan rasa penasaran yang terdengar dari nada suaranya.

“Ya, saat kau bilang kau sudah tidak bisa merasakan hangatnya pelukan ayahmu, aku tahu mungkin ini terdengar aneh, tapi setiap aku berada di dalam stasiun ataupun di dalam gerbong kereta MRT aku selalu merasakan kenyamanan, ya, kenyamanan seolah-olah berada dalam pelukan, dan menurutku ini adalah berkat ayahmu. Kau tahu keramahan semua orang yang ada disini, kenyamanan yang semua penumpang rasakan adalah berkat kerja keras dan keringat semua orang yang terlibat dalam pembanggunan proyek ini, termasuk ayahmu. Aku sendiri tidak pernah merasakan hangatnya pelukan dari siapapun, orang tuaku membuangku, mereka tidak bisa menerima kenyataan aku terlahir tanpa bisa melihat, mereka membuangku ke sebuah rumah yatim piatu, aku tumbuh disana dan belajar bahwa cinta tidak harus selalu dapat dirasakan dengan perlakuan dan sentuhan tubuh, ketulusan seseorang dalam melakukan sesuatu juga menurutku adalah sebuah bentuk cinta. Jadi aku bisa merasakan cinta ayahmu di dalam MRT ini, dan juga bagaimana kecintaanmu terhadapnya melalui lantunan biolamu.”

Ia terdiam, tidak ada kata yang terucap ataupun isak yang kembali terdengar, untuk beberapa saat kami duduk dalam diam, kemudian aku merasakan sentuhan, dan air yang mengalir diatas pundak kananku, ia memelukku dengan erat dan menangis dalam diam. Aku melingkarkan tanganku ketubuhnya, juga memeluknya dengan erat, kembali aku mendengar isak tangin dan ia berkata. “Terima kasih.”

Aku menjawab “Terima kasih, atas permainan biola indahmu dan hangatnya pelukmu.”

Untuk pertama kalinya aku merasakan hangatnya pelukan, untuk pertama kalinya aku merasakan hangatnya ketulusan mengalir melalui tubuhku, hatiku berdegup kencang dan entah kenapa air mataku mulai mengalir. Mungkinkah aku merasakan hal yang selama ini tidak pernah aku rasakan, kasih sayang dan cinta. Setelah sore itu berlalu, rasa rinduku semakin membesar dan menguat, dan kejadian di sore itu sekarang melekat kuat dalam ingatanku, dan entah untuk berapa lama aku akan melupakan rutinitasku. Meskipun aku tidak akan pernah bisa mencitai rutinitasku, setidaknya aku menemukan cinta saat menjalani rutinitasku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen: Hasrat

Sesungguhnya manusia adalah mahluk paling tidak sempurna, bohong bila manusia dikatakan adalah mahluk yang paling sempurna, karena nyatanya banyak dari mereka yang sering merasa kekurangan dan terus meminta untuk lebih dan lebih, namun dengan penuh rasa kesombongan mereka mampu menyebut diri mereka sebagai mahluk paling sempurna. Bahkan di masa awal peradaban, nenek moyang dan para leluhur mereka berani menyebut diri sebagai homo sapiens sapiens atau manusia yang bijaksana, karena mereka merasa kurang puas hanya dengan menyebut diri mereka sebagai homo sapiens, yang sebenarnya juga merupakan nama pemberian mereka sendiri. Bahkan dalam peradaban yang bisa dibilang paling maju sekarang, dengan penemuan paling mutakhir, tidak pernah ada kesempurnaan setidaknya serperti yang diinginkan mahluk yang memenuhi muka bumi ini, segalanya selalu saja tidak pernah cukup, tidak pernah sempuna, selalu ada celah untuk mencari ketidak sempurnan itu.  -  malam itu gelap gulita, keheningan

Ulasan Novel Terusir Karya Buya Hamka

Ulasan mengenai novel terusir Judul Novel Terusir Penulis Buya Hamka Sinopsis Bercerita tentang perjalanan hidup Mariah, seorang wanita dari kalangan biasa yang terusir kehadirannya dari hidup Azhar suaminya dan Sofyan putra mereka. Ia kemudian terpaksa melanjutkan kehidupannya tanpa arah dan tujuan, sendirian di jalanan tanpa tempat untuk kembali, karena kedua orang tua Mariah telah meninggal, dan ia tidak memiliki sanak saudara. Diujung hidupnya yang penuh ketidak pastian dan penderitaan, satu-satunya hal yang dapat membuatnya bertahan adalah cintanya terhadap Sofyan putranya, bahkan setelah ia jatuh kedalam palung kehinaan paling dalam di hidupnya ia masih bertahan, dengan pengharapan kelak ia dapat bertemu dan mencurahkan rasa cintanya kepada Sofyan. Ulasan Terusir adalah sebuah novel yang bercerita tentang cinta, romansa kehidupan, dan permasalahan pelik yang menimpa sebuah rumah tangga yang hadir diakibatkan oleh sifat iri dan dengki, juga sebuah penggambaran secara nya

Cerpen: Persoalan Minta Minta

"Allahhu akbar.... Allahhu akbar....." dengan merdu Azan dilantunkan sang muazin, sebuah masterpiece, lantunan syair yang digumamkan tanpa alunan musik hanya bermodalkan pita suara, lebih merdu dibandingkan musik Mozart. Merdu, lantaran hanya mereka calon penghuni surgalah yang mampu menikmatinya -bukankah semakin sedikit penikmatnya semakin tinggi nilai hal tersebut- dan membuat mereka mampu melangkahkan kaki, melepaskan diri dari belenggu duniawi dengan segala gegap gempitanya. Sebuah panggilan akan deklarasi lemahnya sekaligus kuatnya seseorang yang menghamba kepada Allah. Lemah karena mereka tau bahwa mereka selalu hidup dalam ketergantungan, kuat karena mereka mampu memecah rantai belenggu dunia meski hanya sepersekian menit. Otong bergegas, berlari tunggang langgang menujur kamar dan segera berhadapan dengan almarinya. Digantinya pakaian main dengan kain sarung, songkok hitam dan baju koko putih, serta menjambret sajadah. Siap sedia dengan shalat