Langsung ke konten utama

Jurnal: Mengenai Demokrasi

Sumber: https://sauttogarmanik1922.wordpress.com/2013/11/28/sejarah-konferensi-meja-bundar-kmb/

Selasa, 04 juni 2019

Satu syawal sudah dipelupuk mata dan Ramadhan segera meninggalkan kita, malam itu saya menghabiskan waktu setelah sahur dengan menonton film. Rentetan film yang sudah saya tonton berulang-ulang, meskipun begitu saya merasa akan selalu menemukan hal baru setiap saya kembali menonton film-film tersebut, baik dari sudut pandang atau isu-isu baru yang selama ini terlewat saat saya menonton sebelumnya. Kebetulan film yang saya pilih dini hari tersebut adalah film From Poppy Up Upon the Hill dari Studio Ghibli, film tersebut menceritakan kisah cinta sepasang pemuda yang menemukan fakta bahwa sebenarnya mereka adalah kerabat. Sebagian besar adegan dalam film tersebut terjadi saat mereka serta teman-teman mereka membersihkan dan merenovasi sebuah gedung sekolah yang sudah bobrok, sebagai bentuk protes terhadap keputusan kepala sekolah untuk membongkar gedung itu.

Hal menarik yang saya temukan saat saya menonton setelah kesekian kalinya pada waktu itu adalah, saat terjadi adegan debat dan kampanye antara kubu siswa yang setuju dan mereka yang menolak, atas pembongkaran gedung sekolah tua tersebut. Karakter pria utama dalam film tersebut saat itu bangkit dan berteriak seraya menantang kubu lawan yang tengah berkampanye di podium, dia berkata bahwa dalih yang dipaparkan oleh kubu yang setuju telah merusak demokrasi, dia berkata mereka layaknya para pemimpim negri saat itu yang hanya mengikuti kerumunan atau kuantitas masa tanpa menimbang kembali poin-poin penting dari keputusan itu sendiri.

Dia berbicara soal demokrasi, dia berkata bahwa demokrasi yang coba diterapkan oleh kepala sekolah dan kubu yang setuju bukanlah bentuk demokrasi yang sesungguhnya, demokrasi yang menjungjung tinggi keadilan, namun demokrasi praktis yang dilakukan berdasarkan voting, dan mengambil opini dari mayoritas. Saya merasa hal ini relevan dengan apa yang terjadi di Indonesia dan sekeliling saya, dalam banyak kasus yang saya alami voting menjadi jalan keluar paling praktis dalam mengambil keputusan yang meyangkut orang banyak atau kepentingan suatu kelompok, tapi apakah hal ini bertentanan dengan nilai-nilai demokrasi? Meskipun saya secara pribadi masih belum tahu apa yang dimaksud dengan demokrasi itu sendiri.

Sebagai salah satu bangsa yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional dan menjunjung tinggi budaya lokal, kita tentu memiliki budaya tersendiri dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang melibatkan banyak orang atau masyarakat, seperti contohnya gotong royong. Dalam hal pengambilan keputusan masyarakat kita mengenal istilah musyawarah, dan menurut saya musyawarah ini mengandung atau memiliki nilai yang mirip dengan demokrasi yang merupakan sistem pemerintahan yang lahir dari dunia Barat. Tanpa harus mengatakan bahwa demokrasi yang merupakan hasil pemikiran atau lahir di Barat, saya berpendapat bahwa sebenarnya Indonesia sendiri telah mengenal dasar-dasar pemikiran demokratis bahkan sebelum kita mengadopsi sistem demokrasi.

Benar apa bila ada yang mangatakan pada kenyataanya sistem pemerintahan yang ada di Indonesia pada masa lalu adalah sistem hirarki atau kerajaan, namun poin yang saya maksudkan adalah bukan mengenai sistem tata kelola sebuah wilayah dan masyarakat atau sebuah negara. Tapi lebih kepada nilai-nilai dan dasar pemikiran dari sistem itu sendiri. Sebagai contoh, ketika kita sedang bermusyawarah untuk mengambil sebuah keputusan, hal yang menjadi poin penting dalam kegiatan tersebut adalah hasil dari keputusan itu sendiri, namun efek dan akibat dari keputusan itu sendiri juga tidak kalah pentingnya. Karena itu dalam bermusyawarah tidak sedikit keputusan yang diambil bertujuan untuk kebaikan bersama meskipun hal itu tidak disuarakan oleh banyak orang. Dan dalam hal ini kuantitas orang yang menyuarakan pendapat ini menjadi tidak terlalu penting, tapi kuantitas orang yang akan medapatkan dampak positif dari hasil inilah yang menjadi penting, dan hal itu menurut saya sejalan dengan tujuan dari demokrasi, yaitu kepentingan bersama.

Meskipun tidak sedikit dalam prakteknya berdemokrasi, kuantitas dari orang yang menyuarakan pendapat menjadi lebih penting ketimbang dari kuantitas orang yang akan menerima dampak positifnya. Memang secara logika seharusnya semakin banyak jumlah orang yang menyuarakan suatu pendapat, maka semakan banyak pula jumlah orang yang akan menerima dampak dari suara itu, hal ini akibat adanya keterwakilan orang yang jumlahnya banyak berbanding lurus dengan presentase jumlah orang yang menyatakan pendapat. Tapi pada kenyataannya tidak selalu begitu, apalagi kalau kita berbicara mengenai keterwakilan, tidak sedikit orang yang mewakili sedikit orang menyuarakan pendapat yang sama dengan beberapa orang yang mewakili golongan kecil lainnya, sehingga pendapat tersebut akan terlihat besar, karena presentase perwakilan yang menyuarakan lebih banyak. Sedangkan orang yang mewakili golongan yang lebih besar, memiliki pendapat berbeda dengan wakil-wakil yang lain, sehingga pendapatnya terlihat lebih kecil menurut presentase keseluruhan wakil yang ada. Hal ini sering terjadi, dan biasanya karena alotnya sebuat pemecahan masalah, maka diadakanlah voting untuk mempercepat keluarnya hasil, dan seperti yang saya paparkan sebelumnya, hasil tersebut malah menjadi keuntungan hanya untuk segelintir pihak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen: Hasrat

Sesungguhnya manusia adalah mahluk paling tidak sempurna, bohong bila manusia dikatakan adalah mahluk yang paling sempurna, karena nyatanya banyak dari mereka yang sering merasa kekurangan dan terus meminta untuk lebih dan lebih, namun dengan penuh rasa kesombongan mereka mampu menyebut diri mereka sebagai mahluk paling sempurna. Bahkan di masa awal peradaban, nenek moyang dan para leluhur mereka berani menyebut diri sebagai homo sapiens sapiens atau manusia yang bijaksana, karena mereka merasa kurang puas hanya dengan menyebut diri mereka sebagai homo sapiens, yang sebenarnya juga merupakan nama pemberian mereka sendiri. Bahkan dalam peradaban yang bisa dibilang paling maju sekarang, dengan penemuan paling mutakhir, tidak pernah ada kesempurnaan setidaknya serperti yang diinginkan mahluk yang memenuhi muka bumi ini, segalanya selalu saja tidak pernah cukup, tidak pernah sempuna, selalu ada celah untuk mencari ketidak sempurnan itu.  -  malam itu gelap gulita, keheningan

Ulasan Novel Terusir Karya Buya Hamka

Ulasan mengenai novel terusir Judul Novel Terusir Penulis Buya Hamka Sinopsis Bercerita tentang perjalanan hidup Mariah, seorang wanita dari kalangan biasa yang terusir kehadirannya dari hidup Azhar suaminya dan Sofyan putra mereka. Ia kemudian terpaksa melanjutkan kehidupannya tanpa arah dan tujuan, sendirian di jalanan tanpa tempat untuk kembali, karena kedua orang tua Mariah telah meninggal, dan ia tidak memiliki sanak saudara. Diujung hidupnya yang penuh ketidak pastian dan penderitaan, satu-satunya hal yang dapat membuatnya bertahan adalah cintanya terhadap Sofyan putranya, bahkan setelah ia jatuh kedalam palung kehinaan paling dalam di hidupnya ia masih bertahan, dengan pengharapan kelak ia dapat bertemu dan mencurahkan rasa cintanya kepada Sofyan. Ulasan Terusir adalah sebuah novel yang bercerita tentang cinta, romansa kehidupan, dan permasalahan pelik yang menimpa sebuah rumah tangga yang hadir diakibatkan oleh sifat iri dan dengki, juga sebuah penggambaran secara nya

Cerpen: Persoalan Minta Minta

"Allahhu akbar.... Allahhu akbar....." dengan merdu Azan dilantunkan sang muazin, sebuah masterpiece, lantunan syair yang digumamkan tanpa alunan musik hanya bermodalkan pita suara, lebih merdu dibandingkan musik Mozart. Merdu, lantaran hanya mereka calon penghuni surgalah yang mampu menikmatinya -bukankah semakin sedikit penikmatnya semakin tinggi nilai hal tersebut- dan membuat mereka mampu melangkahkan kaki, melepaskan diri dari belenggu duniawi dengan segala gegap gempitanya. Sebuah panggilan akan deklarasi lemahnya sekaligus kuatnya seseorang yang menghamba kepada Allah. Lemah karena mereka tau bahwa mereka selalu hidup dalam ketergantungan, kuat karena mereka mampu memecah rantai belenggu dunia meski hanya sepersekian menit. Otong bergegas, berlari tunggang langgang menujur kamar dan segera berhadapan dengan almarinya. Digantinya pakaian main dengan kain sarung, songkok hitam dan baju koko putih, serta menjambret sajadah. Siap sedia dengan shalat