Langsung ke konten utama

Cerpen: Pesan Terakhir

Sumber: http://news.rakyatku.com/read/135784/2019/01/17/musim-hujan-kesempatan-emas-untuk-berdoa

Rintik-tintik air hujan turun membasahi bumi seolah-olah menangisi kejadian yang tengah terjadi di seputaran bumi ini, pikirku kalau langit saja yang begitu angkuh, berdiri kokoh di angkasa sudi untuk bersedih, bagaimana dengan manusia? Mahluk pongah yang hidup melata di seantero jagad ini, masihkah perasaan itu bersarang di dalam sanubari mereka? Ataukah sudah moksa dari sukmanya?

-

Di tengah, di antara tangaisan langit yang menderu-deru yang mampu membuat tirai dari tumpahan air itu, sesosok mahluk pongah yang sedari tadi aku bayangkan, muncul dari dalam pelukan sang malam, keluar mencari kehangan dibawah lampu pijar temaram, kedai pinggir empang daerah Pamulang.

Sosok tersebut mengenakan batik lengan panjang, celana bahan hitam, dan sepatu pantofel hitam, dengan tas ransel bertengger di punggungnya, juga tas kotak terbuat dari plastik bening, yang isinya dapat dilihat terdapat beberapa map, dan dokumen-dokumen. Setelan untuk seseorang yang biasa bekerja di kantor, atau di balik meja, tebakku.

“Bu, minta teh manis panas satu ya, kaya biasa ya bu.” Cakap sosok pongah itu yang baru saja menunjukan batang hidungnya di bawah sinar temaram lampu pijar setelah menerjang hujan. 

“Airnya dikit dan gulanya satu sendok kan?” Terdengar suara ibu penjaga kedai dari arah dapur tanpa menampakkan sosoknya.

“Iya bu.” Hemat si pongah.

Dilemparkananya senyum kearahku, senyum manis yang entah kenapa rasanya seperti teh pesanannya, terasa pekat tehnya, dan manisnya hanya tersa sedikit, seolah-olah membaca pikiranku, dan ia melakukannya untuk menampik bayanganku atas sifat pongahnya.

“Apa kabar dek?” sosok pongah yang masih belum aku tahu namanya mencoba memecah keheningan diantara kami.

“Baik pak, bapak sendiri gimana?” jawabku mencoba meladeni basa-basi busuknya.

“Kurang baik, mungkin gara-gara tadi kehujanan.” Sambut sosok pongah itu.

“Iya nih pak, saya juga kejebak ujan dari tadi, makanya saya ngejogrok aja disini, nunggu ujan kelar.” Jawabku seraya mencoba tersenyum.

Ditengah basa – basi kami, ibu kedai muncul dengan air teh manis panas sesuai pesanan si pongah, “Ini pak tehnya, tapi masih panas hati – hati minumnya, bapak mau pesen gorengan juga nggak?”

“Kaga usah bu, saya cuman numpang duduk ajh nunggu ujan reda.” Si pongah.

“Bu, ini chanel TVnya saya ganti ya?” izin si pongah kepada ibu penjaga kedai seraya meraih remote TV yang ada di atas meja di depannya.

“Iya pak silahkan saja.” Jawab ibu penjaga kedai dari arah dapur, hanya suaranya yang terdengan sementara sosoknya tersamarkan oleh dinding dapur.

Dengan cepat jari-jemari si pongah memencet tiap tombol yang ada di remote TV layaknya penari break dance yang berlompatan kesana-kemari, sambil matanya dengan cepat memperhatikan TV menanti tontonan yang dapat memuaskan hasratnya. Dan berhentilah jari setelah matanya terpaku, dan membatu pada sebuah headline berita, raut wajahnya yang ramah mulai memerah, dan berubah kasar, Relawan Ahmad menyalurkan bantuan untuk korban jatuhnya pesawat Macan Kumbang Terbang.

Dengan wajah yang terlihat jengkel si pongah angkat bicara, “Berita yang begini nih yang bapak kaga suka, mau bantu orang kecelakaan ajh pake bawa-bawa nama Relawan Ahmad.” Kearahku mata si pongah itu mengarahkan sinarnya, seolah-olah menanti tanggapan, lebih jauh lagi persetuan, dan pembenaran akan protesnya dari mulutku.

“Ya, mungkin emang itu sumbangan dari Pak Ahmad untuk para koban pak.” Jawabku sehalus mungkin, tidak membenarkan protesnya apalagi menyalahkan, netral.

“Sumbangan dari mana? Uang itu jelas-jelas hasil donasi orang-orang yang malah dimanfaatin sama si Ahmad bakal kampanye politiknya, dasar mau naekin pamor aja numpang ama kecelakaan pesawat, mana modalnya dari orang-orang lagi, dasar kaga punya hati.” Sahut si pongah keliahatan tambah jengkel.

“ya gimana ya pak, namanya aji mumpung, hehehehe….” Kucoba menjawab dengan cengengesan, berharap suasan hatinya sedikit berubah.

-

Setelah beberapa kali saling berlempat sambut tanggapan dan jawaban, aku merasa semakin terseret, terbawa arus menuju percakapan politik. Memang, tahun ini digadang-gadang sebagai tahun politik terbesar dalam beberapa dekade belakangan, hal ini tak lain karena di penghujun tahun ini akan diadakan pilpres dengan dua kandidat yang pada pilpres sebelumnya sudah bertarung.

Pasangan petahanan Ahmad dan Taupan, juga pasangan penantang Fauzy dan Ujang, mereka akan bertarung di panggung politik tahun ini untuk memperebutkan posisi orang nomer satu dan nomer dua di negri kacrut ini.

Sangkakala perang kampanye pun sudah dikumandangkan, KPU sudah memberikan izin kepada kedua Paslon untuk mengadakan kampanye politik, terhitung dari dua bulan lalu, bulan Agustus, bertepatan dengan perayaan hari kemerdekaan.

Jadi wajar saja apabila banner kampanye bertebaran dimana-mana, bendera partai bergoyang-goyang tertiup angin diatas tiang-tiang bendera, dan bambu-bambu berbentuk baliho mengakar ditiap suduh tempat strategis seperti perempatan jalan, atau dekat alun-alun kota.

Tamanku yang dulunya hanya berwarna hijau, kini berwarna warni, merah, kuning, biru, ungu, putih dan hitam, lantaran selebaran partai bertengger di pohon-pohon, hingga kadang aku tak dapat membedakan, yang mana buah yang dihasilkan pohon itu, dan mana selebaran parpol.

Belum lagi kaum milenial, pemuda penerus bangsa katanya, hanya menjadi pemuda penyeru bangsat, yang kerjanya hanya menebarkan hate speech juga menjadi buzzer untuk masing-masing paslon yang saling berjibaku di panggung kampanye politik. 

Hoax kini menjadi hal yang paling sering dikonsumsi, dan duduk di peringkat pertama di negri kacrut ini, menggerser prestasi junk food buatan KFC (Karawang Fried Chiken). Rasa curiga, dan pertikaian kini menjadi penyakit yang paling gampang menjangkiti semua orang, menggantikan batuk, dan flu di musim pancaroba ini.

Kalau boleh aku berbica soal negriku yang kacrut ini, ya begitulah keadaannya sekarang. “Kacau balau!!” kalau kata bocah gendut yang sering ditonton teman-temanku di Instagram, Paling tuh bocah gendut karena kena obesitas, direkam, dan diketawain orang lagi, ironis.

-

Terombang-ambing dalam badai khayalanku mengenai mirisnya kondisi negri kacrutku saat ini, perkataan si pongah membawa kesadaranku kembali ke tepian pantai layaknya obak yang ditiup angin sepoi – sepoi. 

“Belum lagi sebulan yang lalu, cawapares dari paslon nomer urut dua si Ujang datang ke daerah bencana Martil untuk menyalurkan bantuan, prihatin katanya, tapi masih bawa bendera dan embel-embel parpol dan paslonnya.”

“Sebenarnya prihatin saya dek, kenapa sih orang-orang itu memanfaatkan kecelakaan untuk keuntungan mereka sendiri, kalo emang mereka mau bantu, ya bantu aja, kaga usah pake bawa embel-embel parpol atau paslon segala. Orang-orang juga bakal suka ko.” Ucap si pongah seraya menurunkan nada bicaranya yang sedari tadi berapi-api menjadi tenang, setenang air, mencoba mendapat simpati dari ku.

Kulemparkan senyum tanpa berkata sepatah katapun.

“Orang-orang udah mulai nggak perduli sama keadaan disekitarnya, jangankan korban bencana kaya di Martil atau korban pesawat Macan Kumbang Terbang, sodaranya ajh sendri boro-boro. Sekalinya ngebantu pasti ada maksudnya.” Tambah si pongah, dan aku masih terdiam tanpa bisa membalas perkataanya.

“Belum lagi mahasiswa, mahasiswa yang katanya agent of change sekarang malah jadi agen propolis, jualan obat penyembuh segala penyakit, foto disamping mobil Mercy putih, jadi agen MLM, anak muda budak-budak kapitalis, akademisi otak dengkul, yang suka diskusi ngalor ngidul tanpa dilandasi pengentahuan akademis, yang penting eksistensi di panggung diskusi, biar punya nama, biar punya banyak relasi katanya, mantul kata mereka, mantap betul, dasar mahasiswa otak dengkul” keluh si pongah.

-

Kesedihan yang menerpa langit mulai pudar, air hujan yang tercucur turun kini mulai jarang, tirai yang menutupi kegelapan malam kini telah menghilang, udara mulai bertambah dingin.

“Adek ini mahasiwa ya?” Tanya si pongah, seraya menunjukan tatapan tajam kearahku.

Sekali lagi dengan senyum cengengesan aku menjawab sekedarnya, “Iya pak hehehehe….” 

“Jangan jadi seperti mereka ya dek, mereka yang berkuasa yang jadi serigala pemangsa, yang kerjanya cuman mempersulit rakyatnya, bekerja untuk kepentingan golongan belaka.” Pesan si pongah.

"Juga, jangan jadi mahasiswa kecoa, yang kuliah pulang lulus cuman mau cari kerja, bertahan hidup katanya, boro-boro perduli ama orang banyak, ama tetangga ajah kaga. Diskusi cuman modal cuap-cuap, giliran mau naik jadi presiden kampus masih main suap, tapi begitu ditagih janji program dia kalap.”

“Kebetulan ujan udah reda, saya balik duluan dek.” Pamit si pongah.

“Iya pak mari.” Jawabku sekedarnya.

Sekarang pikiranku jadi berat akan pesan si pongah yang baru saja diucapkannya saat sebelum ia pergi, kuingat bahwa aku adalah mahasiwa kecoa yang kerjanya hanya kuliah pulang, nggak pernah ikut diskusi apalagi aksi. Bukan karena sibuk nugas, tapi hanya karena malas.

Kucoba sadarkan diriku agar tak hanyut dalam pikiranku lagi, dengan memusatkan fokus ke berita yang masih tayang di TV, sebuah kotak ajaib pembawa informasi yang entah informasi itu benar atau tidak, mendasar atau mendangkal, berpihak atau netral, tapi karena sudah dibiasakan menkonsumsinya sedari kecil, ya kulanjutkan saja.

-

“Kembali dua tubuh korban pesawat Macan Kumbang Terbang ditemukan, kedua korban ini menambah panjang daftar koban pesawat Macan Kumbang Terbang yang kini sudah mencapai 89 korban jiwa. Berikut adalah data diri korban; yang pertama korban perempuan diduga berusia 40an tahun, bernama Sumiyati Chirzin dan yang kedua korban bernama Jalalludin Ali Chirzin diduga berusia 50an tahun, dari kartu tanda pengenal yang ditemukan bersama dengan jasad kedua korban, diketahui bahwa mereka adalah pasutri yang tinggal di daerah Pamulang, dan korban Jalalludin Ali Chirzin merepakan seorang dosen di salah satu universitas kenamaan di daerah Tangerang Selantan…….”ucap pembawa acara berita malam yang saat ini aku tonton.

Fokusku pecah saat si ibu penjaga kedai berkata setengah berteriak, “Lah, si bapak kemana?”

Pandanganya kemudian dilarikan kearahku seraya bertanya, “Dek, itu si bapak kemana?”

“Udah balik bu, baru ajh tadi perginya, blom ada lima menit kali.” Jawabku cepat. 

“Emang kenapa bu?” tanyaku menyambung, mencoba berbasa – basi.

“Dia belon bayar itu teh manisnya.”

“Owh gitu bu… yaudah nanti sekalian ajh saya yang bayar bu.” Tanggap ku, sambil meraba dompet dari dalam saku celana, dan mengeluarkan selembar uang gocengan.

“Udah kaga usah dek, besok juga balik lagi tuh si bapak, biasanya dia juga kalo abis ngajar suka nongkrong dlu disini.” Kata si ibu penjaga kedai seraya menolak uang yang aku sodorkan.

“Ibu kenal sama si bapak tadi?” tanyaku malah jadi penasaran akan jati diri si pongah.

“Iya itu mah pak Ali, Jalalludin Ali Chirzin, dosen di kampus Islam yang di Tangsel itu, dia tinggal di komplek deket sini.” Jawab si ibu penjaga kedai.

Dengan mata terbelalak dan mulut menganga lantaran kaget dan tidak percaya akan apa yang baru saja terjadi, aku hanya bisa berkata, “Lahhhhhh……….”
x

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen: Hasrat

Sesungguhnya manusia adalah mahluk paling tidak sempurna, bohong bila manusia dikatakan adalah mahluk yang paling sempurna, karena nyatanya banyak dari mereka yang sering merasa kekurangan dan terus meminta untuk lebih dan lebih, namun dengan penuh rasa kesombongan mereka mampu menyebut diri mereka sebagai mahluk paling sempurna. Bahkan di masa awal peradaban, nenek moyang dan para leluhur mereka berani menyebut diri sebagai homo sapiens sapiens atau manusia yang bijaksana, karena mereka merasa kurang puas hanya dengan menyebut diri mereka sebagai homo sapiens, yang sebenarnya juga merupakan nama pemberian mereka sendiri. Bahkan dalam peradaban yang bisa dibilang paling maju sekarang, dengan penemuan paling mutakhir, tidak pernah ada kesempurnaan setidaknya serperti yang diinginkan mahluk yang memenuhi muka bumi ini, segalanya selalu saja tidak pernah cukup, tidak pernah sempuna, selalu ada celah untuk mencari ketidak sempurnan itu.  -  malam itu gelap gulita, keheningan

Ulasan Novel Terusir Karya Buya Hamka

Ulasan mengenai novel terusir Judul Novel Terusir Penulis Buya Hamka Sinopsis Bercerita tentang perjalanan hidup Mariah, seorang wanita dari kalangan biasa yang terusir kehadirannya dari hidup Azhar suaminya dan Sofyan putra mereka. Ia kemudian terpaksa melanjutkan kehidupannya tanpa arah dan tujuan, sendirian di jalanan tanpa tempat untuk kembali, karena kedua orang tua Mariah telah meninggal, dan ia tidak memiliki sanak saudara. Diujung hidupnya yang penuh ketidak pastian dan penderitaan, satu-satunya hal yang dapat membuatnya bertahan adalah cintanya terhadap Sofyan putranya, bahkan setelah ia jatuh kedalam palung kehinaan paling dalam di hidupnya ia masih bertahan, dengan pengharapan kelak ia dapat bertemu dan mencurahkan rasa cintanya kepada Sofyan. Ulasan Terusir adalah sebuah novel yang bercerita tentang cinta, romansa kehidupan, dan permasalahan pelik yang menimpa sebuah rumah tangga yang hadir diakibatkan oleh sifat iri dan dengki, juga sebuah penggambaran secara nya

Cerpen: Persoalan Minta Minta

"Allahhu akbar.... Allahhu akbar....." dengan merdu Azan dilantunkan sang muazin, sebuah masterpiece, lantunan syair yang digumamkan tanpa alunan musik hanya bermodalkan pita suara, lebih merdu dibandingkan musik Mozart. Merdu, lantaran hanya mereka calon penghuni surgalah yang mampu menikmatinya -bukankah semakin sedikit penikmatnya semakin tinggi nilai hal tersebut- dan membuat mereka mampu melangkahkan kaki, melepaskan diri dari belenggu duniawi dengan segala gegap gempitanya. Sebuah panggilan akan deklarasi lemahnya sekaligus kuatnya seseorang yang menghamba kepada Allah. Lemah karena mereka tau bahwa mereka selalu hidup dalam ketergantungan, kuat karena mereka mampu memecah rantai belenggu dunia meski hanya sepersekian menit. Otong bergegas, berlari tunggang langgang menujur kamar dan segera berhadapan dengan almarinya. Digantinya pakaian main dengan kain sarung, songkok hitam dan baju koko putih, serta menjambret sajadah. Siap sedia dengan shalat