Langsung ke konten utama

Cerpen: Peruburuan, Tradisi dan Ekspektasi

               
Sumber: Pribadi

“Aku berhasil! Aku berhasil menemukannya! dia di sini” Suara itu memecah keheningan malam dan kesunyian hutan, pun hiruk pikuk para pemburu yang sedari tadi berlarian kesana kemari mencoba menemukan jejak Kajun, bocah yang ditelan oleh gelapnya malam, dan pekatnya kabut yang menyelubungi jantung hutan itu. Dengan segera juga para pemburu itu berlarian menuju ke arah suara itu berasal.

-

Sudah menjadi sebuah tradisi di desa terpencil di ujung selatan pulau kecil, di sebuah gugusan pulau di utara Nusantara, untuk melakukan perburuan babi hutan bersama-sama, sebuah perlombaan yang tidak hanya mempertontonkan kekuatan fisik tapi juga ketangkasan, dan kecakapan dalam berpikir cepat, karena babi hutan adalah salah satu hewan liar yang paling sulit ditangkap di kawasan hutan tersebut. Daerah yang ditutupi oleh rimbunnya pohon yang menjulang tinggi dan mengakar kuat di atas permukaan tanah, lebatnya semak belukar tumbuh di tiap sudut hutan sejauh kaki melangkah, dan di antara semua itu adalah kabut hutan yang selalu menjadi musuh besar para pemburu, momok yang menakutkan bagi para penduduk tetapi juga menjadi sebuah tantangan yang tak terelakkan bagi para pria suku tersebut.

Perburuan ini telah dilakukan selama berabad-abad, tak lekang oleh zaman, dan menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka yang masih memiliki darah dari suku asli di sana. Meski zaman terus berganti, waktu berjalan dengan pesat, dan laju modernisasi tidak bisa lagi dihadang, tradisi ini nyatanya tetap berjalan, ditambah dengan dilekatkannya gelar hutan lindung, hutan tempat biasa mereka berburu, dan disematkannya gelar ranger atau penjaga hutan kepada para penduduk asli suku yang masih mendiami kawasan tersebut.

-

Tahun ini Kajun menginjak usia lima belas tahun, sebuah usia dimana ia dianggap sudah harus bekerja sebagai seorang dewasa dan dapat memilih wanita untuk diperistri. Tapi sebelum bisa menjadi seorang pria dewasa sejati, ia harus ikut berburu babi hutan dan membawa pulang hasil buruannya sendiri dan ia tidak akan dianggap sebagai pria sejati hingga ia dapat pulang membawa buruannya sendiri, meskipun hal ini kedengaran mudah karena kebiasaan suku mereka yang memang hidup dari berburu dan memancing, tapi tidak sedikit pemuda yang pulang dengan tangan kosong dan menelan kekecewaan dalam – dalam. Tidak jarang bagi mereka yang pulang dengan tangan kosong menjadi bahan olok – olok oleh anggota suku yang lain.

Kajun merasa darahnya mengalir lebih deras pada kala itu, telapak tangannya mengeluarkan keringat tanpa henti, dan beberapa bagian tubuhnya mulai gemetar, saat itu adalah saat dimana ia akan pergi berburu babi hutan untuk pertama kalinya. Semua peralatan yang mungkin ia butuhkan telah berada di tangan, sebuah busur sepanjang dua lengan pria dewasa, beberapa anak panah bermata batu yang letakkan di dalam keropak, keropak yang terbuat dari kulit pohon, sebilah Golok, juga tas yang terbuat dari rajutan kulit kayu dan kulit binatang.

Ia sudah siap, maka dilangkahkanlah kakinya guna menghadap kepala suku bersama dengan rombongan pemburu lain untuk meminta berkah dari kepala suku dan dukun. Di sana ia berdiri di antara para pria, yang jelas lebih tua dan lebih berpengalaman darinya. Tapi, hari itu ia tidak sendiri, karena pada hari yang sama Cuhua juga mengikuti perburuan untuk pertama kalinya. Dadanya lebih busung, badanya kelihatan lebih berisi, dan kakinya kelihatan lebih kuat dan akan lebih kencang saat ia berlari, pikir Kajun. Tapi semua hal itu tidak jadi masalah karena mereka tahu siapa yang lebih piawai dalam menggunakan busur, yaitu Kajun. Mereka sudah berteman sejak kecil, layaknya anak kembar mereka selalu menghabiskan waktu bersama, bermain bersama, berlatih panahan bersama, memancing bersama bahkan mereka menyukai wanita yang sama, Manda.

Manda gadis muda suku tersebut, Bunga Alas begitu sebutannya, harum namanya sudah terendus oleh setiap pemuda suku tersebut, semua pemuda sangat ingin memperistrinya, tapi ia selalu menolak karena tidak pernah ada yang mampu memenuhi keinginannya, yaitu seekor babi hutan yang sangat besar seukuran orang dewasa sebagai mahar untuk melamarnya.

Banyak penduduk desa yang berkata hal itu sangatlah tidak mungkin, karena semua hewan yang hidup di alam liar tidak akan bisa mencapai ukuran maksimal mereka, kecuali hewan itu dipelihara dan dirawat oleh manusia. Karena itulah meskipun ia diinginkan oleh banyak pria di sukunya, tapi lama kelamaan tidak sedikit dari mereka yang berhenti untuk berusaha, karena mereka tahu usaha mereka tidak akan pernah membuahkan hasil. Tapi, hal ini tidak berlaku bagi kedua pemuda yang baru saja beranjak dewasa, Kajun dan Cuhua, darah muda, tidak ada nasihat yang cukup bijak yang bisa menghentikan kedua pemuda ini untuk mewujudkan mimpi mereka, tidak ada angin atau hujan yang mampu meredupkan apalagi memadamkan api asmara mereka yang menyala menggebu – gebu.

Setelah kepala suku dan dukun suku tersebut selesai memberkati masing – masing senjata yang akan dibawa para pemburu untuk pergi kehutan, maka dengan segera mereka pergi ke dalam kegelapan dan lebatnya hutan. Darah mengalir dengan cepat ke seluruh tubuh kajun, tidak bisa jantungnya berhenti berdetak, karena untuk saat itu dan selanjutnya ia sudah bertekad untuk menancapkan anak panahnya pada babi hutan terbesar, kemudian pulang dan memetik harumnya Bunga Alas pujaan semua pemuda. Tidak jauh berbeda dengan sahabatnya, Cuhua juga berketad untuk menangkap babi hutan terbesar yang bisa ia bayangkan, dan berpikir hal itu akan mudah setelah semua latihan yang diterimanya, apalagi ia adalah yang terkuat di antara mereka.

-

Kaki – kaki telanjang itu kini mulai menapaki lantai hutan yang tertutup oleh humus dan dedaunan kering, tibalah mereka di ambang hutan. Di sana kelompok pemburu tersebut dipecah menjadi tiga kelompok kecil, yang tediri dari masing – masing tiga orang. Kelompok pertama adalah mereka yang paling berpengalaman dalam berburu, mereka bertugas untuk mencari jejak dan menemukan hewan buruan didampingin oleh ajing – anjing pemburu yang bertugas mengendus keberadaan hewan buruan, kelompok kedua tediri dari mereka yang paling mahir memanah, Kajun adalah salah satu anggota dari kelompok itu, dan kelompok ketiga adalah kelompok penyergap, mereka juga didampingin oleh anjing pemburu namun dengan tugas yang berbeda, mereka bertugas untuk menghadang lari hewan buruan dan melepas anjing pemburu untuk menyerang hewan buruan.

Semakin mereka masuk kedalam hutan, kegelapan semakin tidak segan untuk menyelimuti, suara – suara aneh mulai terdengar dari tiap sudut hutan, para pemburu lain berkata untuk tidak tertipu dengan suara tersebut, itu adalah suara – suara kera dan hewan lain yang biasanya ingin menyesatkan para pemburu. Satu – satunya harapan mereka adalah pada penciuman para anjing dan ketajaman mata para pemburu untuk melihat jejak – jejak dan tanda dari hewan buruan. Tiba – tiba saja beberapa anjing mengonggong, yang menandakan kehadiran hewan buruan atau mahluk asing yang berada tidak jauh dari posisi mereka saat ini.

Segera para pemburu berlari bersama kelompoknya masing – masing, kelompok pertama berlarian bersama dengan anjing pemburu mereka yang sedang sibuk mencari dan membaui mangsa, para pemanah mengikuti dari belakang, sedangkan para penyergap berlari memutar dari samping. Anjing pengendus itu terus menuntun mereka menuju ke tengah hutan, di sana cahaya semakin pudar, semua bau membaur menjadi satu, dan selalu terdengar pergerakan hewan di setiap semak yang mereka lalui. Hanya penciuman anjing pengenduslah yang menjadi petunjuk mereka.

Setelah beberapa menit pengejaran, akhirnya sang mangsa menampakkan dirinya, seekor babi hutan muda, dengan tubuh ramping dan taring yang mulai mencuat keluar di antara giginya, sepertinya babi itu mulai kehilangan arah setelah dikejar para pemburu, dan kini ia mulai terpojok. Kajun yang kala itu belum tahu apa – apa merasa sangat gembira, segera ia merentangkan busurnya dan megambil anak panah dari keropaknya lalu memegangnya erat – erat, matanya terfokus pada tubuh babi itu. Ia tahu anak panahnya tidak akan meleset, dan akan melesat cepat, menancap tepat di perut babi itu. Tapi, tepat sebelum ia melepas anak panahnya salah seorang pemburu yang lebih tua menghentikannya.

“Apa yang kau lakukan?” Ia terdengar agak marah.

“Aku ingin memanah babi itu, bukankah ini kesempatan bagus.” Kajun menjawab dengan penuh kepolosan.

“Dasar bocah, kau tidak tahu kalau hewan yang terpojok adalah hewan yang paling berbahaya.”

“Bagaimana bisa?”

“Berbeda dengan hewan yang mempunyai pergerakan luas, hewan yang terpojok akan mengerahkan semua kekuatannya untuk mencoba menerjang kita, dan itu berati bisa membuat kita terluka, begitu juga dengan anjing – anjing kita.”

“Tapi bukannya apabila ia terpojok maka akan lebih mudah menangkapnya?”

“Tidak, apabila ia masih punya tenaga.”

“Lalu apa yang harus kita lakukan? Diam disini dan menungguhnya hingga kelelahan?”

“Tentu tidak, kita akan biarkan anjing - anjing mengongong dan mengejarnya sekali lagi hingga babi itu benar – benar kelelahan, baru setelah itu kita tangkap babi itu.”

“Tapi hal itu telalu membuang – buang waktu dan tenaga, kenapa kita tidak panahi saja babi itu dari sini.”

“Kau selalu berkata kau adalah yang terbaik dalam latihan memanah, tapi nyatanya kau tetap sama bodohnya dengan yang lain.”

“Apa maksud mu?”

“Panah – panah kita tidak akan mampu untuk membunuh babi itu, kulitnya terlalu tebal, panah hanya kita gunakan untuk melukai dan menghalau hewan buruan besar, kita ini sedang berburu babi bukan burung!”

“Sudahlah, kau hanya membuang – buang tenaga untuk menasehatinya, sebaiknya kita segera mulai lagi pengejaran babi itu.” Salah seorang pemburu lain datang dan melerai mereka.

Kajun yang baru saja berdebat dengan pemburu lain mulai mempertanyakan perburuan ini, dadanya mulai merasa sesak dan tangannya tidak bisa berhenti mengepal setelah mengetahui kenyataan yang terjadi dalam perburuan, Kajun yang semula berpikir bahwa perburuan adalah sebuah kegiatan heroik yang hanya dapat dilakukan oleh beberapa pria dewasa sukunya, ternyata tak lebih dari kegiatan bertahan hidup biasa, penuh dengan kelicikan dan tindakan pengecut. Di sisi lain, Cuhua yang memiliki pemikiran lebih sederhana, masih berkutat dengan keinginannya untuk menjadi yang pertama menangkap babi tersebut, dan memboyong Manda sebagai istrinya kelak.

Entah karena rasa percaya dirinya yang terlalu tinggi atau rasa kepercayaan terhadap rekan – rekannya yang terlalu rendah, Kajun tetap bersikeras, dan saat pemburu lain sibuk memojokkan Babi buruan, ia melesatkan anak panahnya.

“Wusss” Terdengar suara berdesing dari anak panah yang melesat membelah udara dan kegaduhan yang dibuat oleh pemburu lain, tidak sampai tiga detik suara lain menyusul “Jleb” Anak panah itu kini bersarang tepat di perut babi muda tersebut. Seketika babi itu menggila dan memberontak, tidak menghiraukan teriakan pemburu dan gonggongan anjing yang mencoba memojokkan buruan mereka. Suara selanjutnya yang terdengar adalah lengkingan sang mangsa dan teriakan para pemburu. Mereka kewalahan menghalau amukan babi itu, akhirnya karena tidak ingin ada jatuhnya korban, pemimpin pemburu memberikan isyarat untuk mundur dan membiarkan babi itu berlari sekali lagi.

Anjing – anjing pemburu mulai kembali mengonggong, para pemburu meneriaki, mereka mencoba menakut – nakuti babi hutan itu, agar ia kembali berlari dan menguras tenaganya.

Kaki – kaki yang tadinya kuat memijaki tanah dan berlarian dengan cepat bagaikan seorang anak yang bermain di tempat bermainnya kini mulai melambat, langkahnya mulai terdengar jarang, dan teriakan – teriakan para pemburu mulai berganti dengan deru nafas panjang. Berbanding terbalik dengan apa yang dialami oleh para pemburu, si babi hutan justru berlari semakin kencang, ia bergerak semakin lincah, seperti hewan buruan yang belum dikejar sama sekali. Dengan nafas terengah – engah, para pemburu tetap bersikeras untuk mengikuti, hingga pemimpin pemburu memberi isyarat untuk berhenti.

“Perburuan hari ini kita hentikan, hari semakin gelap, orang – orang juga sudah mulai lelah.”

“Tapi kenapa? Bukankah seharusnya kita mengejar babi itu sampai dapat?” Kajun bersikeras.

“Apa kau tidak mendengar kata-kataku tadi bocah? Sekarang kita pulang!”

Dengan memasang wajah muram kajun berjalan mendekati Cuhua dan berbisik, “Ternyata kehebatan para pemburu yang aku dengar selama ini hanya isapan jempol belaka.”

“Apa kau bilang bocah?!” Ternyata ada beberapa pemburu yang dapat mendengar perkataan Kajun selain Cuhua.

“Tidak.”

“Apa kau lupa siapa yang menyebabkan segala kemalangan ini?!”

Kajun tidak menjawab dan hanya memasanga wajah memasam.

“Apa kau tahu apa sebenarnya tujuan dari perburuan kita?!” Pemburu itu mulai bertanya dengan nada yang keras.

“Tentu saja untuk menghormati tradisi leluhur.” Kajun kembali berbicara

“Lalu kau pikir kenapa para leluhur kita pergi berburu.”

“Untuk bertahan hidup.”

“Lalu katakan pada ku bocah, apakah mati dalam perburuan adalah salah satu cara untuk bertahan hidup?”

“Aku rasa justu itu adalah sebaliknya.”

“Ya, sama seperti otak mu yang terbalik, sekarang kita kembali.”

Tanpa kembali berbicara untuk mempertanyakan keputusan pemburu lain Kajun hanya bisa mengikuti perintah mereka, ia sadar bahwa ia dan Cuhua hanyalah dua bocah yang sedang ikut berburu dan itu berarti beban bagi pemburu lain, karena itulah mereka tidak mau mengambil resiko dengan melanjutkan perburuan ke tempat yang lebih berbahaya seperti perburuan-perburuan sebelumnya.

-

Malam kembali hadir untuk menyelimuti jiwa – jiwa yang kelelahan dengan segala keanggunan dan kesunyiannya, nyanyian semarak dari burung – burung di hutan kini berganti dengan teriakan – teriakan pilu anjing hutan yang terus terngiang – ngiang di seantero hutan. Di desa, di hadapan kepala suku dan dukun, para penduduk menghabiskan malam mereka dengan bercengkrama, hanya diterangi oleh cahaya lidah api yang menari – nari di atas batang – batang kayu yang mulai menghitam, tapi tidak dengan Kajun dan Cuhua, kedua darah muda ini sedang bermuram durja, mencoba menelan kekecewaan yang mereka terima hari ini.

Di sisi lain, para pemburu mengisahkan dan melaporkan hasil perburuan mereka hari ini, tidak ada senyuman, tidak ada canda dan tawa yang ada hanya kekecewaan dan ketegangan. Pemimpin pemburu yang memimpin jalannya perburuan pun angkat bicara.


“Tolong semuanya tenang, memang aku akui hari ini kita tidak menangkap apa – apa. Tapi, ini bukan berarti kita tidak mendapatkan apa – apa juga.”

“Apa yang kau bicarakan?” Salah satu pemburu yang juga ikut perburuan menanggapi dengan nada yang tinggi.

“Yang coba aku sampaikan, setidaknya tidak ada satu pun diantara kita yang perlu menderita karena kehilangan akibat kabut, atau mati akibat percobaan penangkapan yang sia – sia.” Pemimpin pemuburu mencoba berbicara dengan lamban guna menurunkan tensi percakapan.

“Tapi, apa gunanya perburuan apabila kita mendapatkan hewan buruan?” Pemburu lain ikut angkat bicara.

“Aku tidak bisa mengelak akan hal itu, tapi semua dari kita pulang dengan tangan hampa, setidaknya beberapa di antara kita pulang dengan membawa pelajaran berharga.”

“Apakah kau sedang membicarakan kedua bocah itu?!” Pemburu pertama kembali menanggapi dengan nada yang tinggi

“Ya, hal ini akan menjadi pelajaran berharga bagi mereka di masa depan, mereka akan mengerti nilai – nilai yang kita terapkan dalam tiap perburuan.”

“Persetan dengan nilai – nilai dan kedua bocah itu, hal ini tidak bisa dibiarkan, apabila ini terus seperti ini apa gunanya kita pergi berburu, lebih baik kita hapuskan saja tradisi ini.”

“Ya, aku setuju, kenapa juga aku harus perduli dengan kedua bocah ingusan itu, mereka hanya datang membawa masalah dan membuat kita kerepotan saja.” Sahut pemburu lainnya.

Kepala suku menanggapi perkataan mereka “Kita semua pernah berada di posisi mereka, kita semua pernah menjadi beban dari orang lain, kita tidak perlu menghakimi mereka berdua lebih jauh.” Ia mengalihkan pandangannya ke arah pemimpin pemburu. “Aku sepenuhnya mengerti dengan apa yang terjadi, kalian telah berusaha dan melakukan apa yang terbaik, dan itu sudah cukup membuat ku puas, jadi tidak ada hal lain yang perlu dilaporkan.”

Dengan berakhirnya pertikaian tersebut maka berakhirlah pula kegiatan malam itu, kepala suku meminta mereka semua untuk kebali ke tempat mereka lebih awal untuk beristirahat. Kemudian, ia menghampiri pemimpin pemburu seraya berbisik memintanya untuk memanggil kedua bocah itu.

“Tolong sekarang kau panggil kedua bocah itu, aku tidak melihatnya hadir malam ini, aku tahu mereka pasti yang paling merasa kecewa.”

“Baiklah segera.”

Tapi, tepat sebelum mereka menoleh sesosok bayangan muncul dari kegelapan malam, bayangan itu kian mendekat menuju temaram sinar api, ternya itu sesosok itu adalah Cuhua. Nafasnya saling memburu, ia tidak mampu berkata – kata dan hanya deru yang terdengar dari mulutnya.

“Cuhua ada apa? Aku baru saja ingin memanggilmu.”

Tidak ada kata – kata yang keluar dari mulutnya melainkan deru nafas.

“Bicaralah nak. Apa yang membuatmu datang kemari dengan nafas yang terengah – engah?” Kepala suku ikut menanyai perihal kedatangan Cuhua.

“Kajun, ia pergi ke hutan, membawa busur dan beberapa anak panah.” Singkat Cuhua dengan nafas yang masih menderu.

-

Masih di malam yang sama, dinaungi redupnya cahaya bulan, Kajun dan Cuhua tidak lagi bermuram diri malah berselisih paham. Mereka berdua sedari tadi memang tidak menghadiri perkumpulan malam, atau lebih tepatnya tidak mau menghadiri acara tersebut.

Hilang sudah harga diriku Kajun mengumpat dirinya dalam pikirannya sendiri. Penyesalan dan rasa kecewanya bukannya tidak beralasan, setelah kecerobohan yang ia pertontonkan di depan pemburu lain, runtuh sudah kepercayaan mereka terhadapnya, niscahya pada perburuan selanjutnya ia tidak akan diberikan kepercayaan lagi untuk ikut serta, dan sepanjang hidup ia akan dicemooh sebagai seseorang yang tidak hanya gagal, tapi menyebabkan kegagalan.

Cuhua yang merupakan rekan berburu dan juga sahabatnya nampaknya mengerti dengan apa yang dialami oleh kawannya itu, ia yang mulanya hanya berdiri dalam diam dan kesunyian, kini mulai membuka mulut dan mencoba untuk mengangkat rasa kecewa yang bersarang dalam diri Kajun dan membuangnya jauh hilang layaknya kabut yang dihempas angin dan sinar matahari pagi.

“Sudahlah, tidak ada gunanya juga kita bermuram durja seperti ini.”

Kajun tidak menggubris perkataan Cuhua dan tetap setia dengan penyesalan dan rasa malangnya.

“Berdiam diri seperti ini pun tidak ada gunanya, kau hanya akan tenggelam dalam rasa kecewa, ayolah kita berkumpul bersama yang lain dan menghibur diri.”

“Aku tidak bisa, mereka pasti akan menertawakan ku.”

“Itu tidak benar, mereka semua tahu kita belumlah menjadi pemburu yang sesungguhnya, dan kesalahan adalah hal yang tidak bisa kita hindari.”

“Apa maksud perkataan mu itu?”

“Kita memang belumlah layak dikatakan sebagai seorang pemburu, karena kita belum berhasil menangkap apa – apa, dan ikut berburu bukan berarti kita sudah menjadi pemburu sejati.”

“Jadi yang mau kau katakan adalah kita tidak berhasil menjadi pemburu sejati akibat perbuatan ku? Karena aku menggagalkan perburuan kita hari ini? Begitu?!” Kekecewaan yang Kajun rasakan semakin mendalam dan kini menjelma menjadi kemarahan.

“Bukan itu yang aku maksudkan.”

“Tapi dari cara kau berbicara, sepertinya kau berkata demikian!”

“Dengarkan perkataanku dulu, aku tidak bermaksud menyalahkanmu, yang aku maksud…..”

Kajun yang sudah mulai terbakar oleh api amarah kini tidak mau lagi mendengarkan kata – kata Cuhua dan memotong perkataanya. “Sudahlah, kau tidak ada berdanya dengan mereka.”

“Ayolah kita sudah saling mengenal sejak kita masih kanak – kanak, apakah kau juga tidak percaya dengan ku?”

“Yang aku percara adalah kau sama – sama menginginkan hal yang sama dengan ku, yang aku tahu adalah kau selalu berusaha untuk mengalahkanku, kau tidak ada bedanya dengan para pemburu itu!”

“Apa maksud mu? Kenapa kau jadi menuduhku demikian?”

“Ya, kita berdua tahu bahwa kita mengingingankan hal yang sama, kau dan aku, menjadi pemburu handal, kau dan aku, juga menginginkan wanita yang sama, dan satu – satunya yang kau perdulikan adalah dirimu.”

“Kenapa kau berbicara seolah akulah penyebab semua ini? Padahal kaulah yang menyebabkan semua ini.” Sebagaimana sifat api, api amarah yang telah berhasil membakar Kajun, kini merambat dan mulai membakar Cuhua.

“Ternyata benar dugaan ku, kau hanya memperdulikan dirimu sendiri!”

“Diamlah, ini semua terjadi karena dirimu.”

Semua pertikaian dan perdebatan yang mulanya terjadi hanya melalui perkataan kini berubah menjadi baku hantam, Cuhua yang mulanya datanga untuk memberikan kedamaian dan membangkitkan rasa percaya diri dari kawannya, kini tidak jauh berbeda dengan Kajun yang juga terbakar api amarah. Kedua pemuda itu saling lemparkan tinju dan denganan, saling sepak dan bergulat. Namun, seperti yang telah diketahui, Kajun bukanlah lawan yang imbang bagi Cuhua, dan tentu saja Cuhua mampu melumpuhkan Kajun.

Dalam keadaan babak belur, Kajun yang masih terbakar api amarah berteriak kearah Cuhua dengan suara lantang, seraya memaki dan mencemmohnya. Sesaat sebelum ia berhenti bicara, Kajun berlari dan mengambil busur dan pahanhnya, direntangkannya busur tersebut dan dengan sangat cepat, bahkan sebelum Cuhua sempat mengelak Kajun mempatkan anak panah diantara tangan dan busurnya, siap untuk melesat, tepat kea rah Cuhua.

Cuhua yang tidak bisa berkutik, hanya bisa berteriak kearah Kajun. “Apa kau sudah gila!!”

“Tidak, aku tidak gila, dengan busur dan anak panah ini, aku akan buktikan siapa yang terhebat di antara kita, siapa yang terhebat di antara para pemburu!”

“Apa maksud mu?”

Tanpa menggubris perkataan Cuhua, Kajun mulai melangkah dan menjauh dari Cuhua sambil terus mengarahkan mata panahnya kearah Cuhua, lalu ia berbalik dan berlari menghilang ke dalam kegelapan hutan dan pekatnya kabut. Tidak sampai semenit berselang terdengar teriakan dari dalam hutan. “Aku akan menangkap babi buruan kita!” Terdengar suara Kajun yang entah dari mana datangnya di dalam hutan itu.

-

Mendengar perkataan Cuhua memuncaklah amarah pemimpim pemburu, ia lalu berteriak dan kembali mengumpulkan para pemburu untuk mencarai Kajun ke dalam kegelapan hutan. Cuhua yang saat itu merasa bersalah memohon untuk ikut mencari Kajun bersama para pemburu lain, tapi seperti yang ia duga, pemimpin pemburu menolaknya dan kemudian berangkat tanpa kembali menatap wajah Cuhua.

Cuhua yang kini tenggelam dalam perasaan bersalah dan khawatir, tidak dapat berpikir dengan dan segera mengambil tindakan. Tanpa berpikir panjang ia yang tidak membawa perlengkapan apa pun, bahkan tidak memiliki penerangan, berlari menerjang para pemburu dan melesat ke dalam jantung hutan sendirian.

Di sana ia diselimuti oleh kabut pekat dan ditemani oleh kesunyian malam, semua pemburu yang berlarian dibelakangnya rupanya sudah menghilang dari pandangan, mereka sepertinya juga kehilangan jejak yang Cuhua tinggalkan karena kabut pekat yang ada. Sedirian dan dikelilingi tidak hanya kabut, kesunyian namun yang lebih membuatnya tertekan adalah rasa bersalah Cuhua hanya bisa berlari kesana kemari berharap menemukan Kajun dan bisa membawanya pulang. Setelah beberapa lama berlarian tidak tentu arah, ia mendengar derap langkah dari salah satu sudut matanya, kemudian ia mencoba untuk memicingkan mata, dan melihat sesosok mahluk. Entah karena putus asa atau keyakinannya ia kemudian berteriak “Aku berhasil! Aku berhasil menemukannya! dia di sini”

-

Kajun yang pergi ke hutan membawa busur dan panah, tidak mampu melihat dengan sempurna, ia mulai kehilangan arah, penciumannya sama sekali tak bisa diandalkan, telinganya masih berdengung akibat perkelahiannya dengan Cuhua, kesunyian hutan dan pekatnya kabut membuat keadaan semakin mencekam. Kajun yang semua terbakar api marah kini tenggelam dalam lautan kekhawatiran dan rasa takut. Semua kegelapan kabut yang mengelilinginya bagaikan tirai – tirai gelap yang tak mampu tertembus, keheningan malam hanya menambah rasa mencekam.

Dia yang berada di dalam kabut tidak bisa melihat dengan sempurna, kemudian tiba – tiba mendengar suara, suara pergerakan dari sesosok mahluk. Kajun yang masih tenggelam dalam rasa takut memicingkan mata dan hanya berhasil melihat bayangan sesosok mahluk itu. Kemudian, tanpa pikir panjang dilesatkan panahnya kearah empunya bayang – bayang tersebut. Anak panahnya melesat membelah kabut, hilang di dalam kabut dan tanpa menimbulkan suara. Sesaat kemudian dia melihat sosok mahluk tersebut tumbang dan seraya ia berteriak “Aku berhasil! Aku berhasil menemukannya! dia di sini”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen: Hasrat

Sesungguhnya manusia adalah mahluk paling tidak sempurna, bohong bila manusia dikatakan adalah mahluk yang paling sempurna, karena nyatanya banyak dari mereka yang sering merasa kekurangan dan terus meminta untuk lebih dan lebih, namun dengan penuh rasa kesombongan mereka mampu menyebut diri mereka sebagai mahluk paling sempurna. Bahkan di masa awal peradaban, nenek moyang dan para leluhur mereka berani menyebut diri sebagai homo sapiens sapiens atau manusia yang bijaksana, karena mereka merasa kurang puas hanya dengan menyebut diri mereka sebagai homo sapiens, yang sebenarnya juga merupakan nama pemberian mereka sendiri. Bahkan dalam peradaban yang bisa dibilang paling maju sekarang, dengan penemuan paling mutakhir, tidak pernah ada kesempurnaan setidaknya serperti yang diinginkan mahluk yang memenuhi muka bumi ini, segalanya selalu saja tidak pernah cukup, tidak pernah sempuna, selalu ada celah untuk mencari ketidak sempurnan itu.  -  malam itu gelap gulita, keheningan

Ulasan Novel Terusir Karya Buya Hamka

Ulasan mengenai novel terusir Judul Novel Terusir Penulis Buya Hamka Sinopsis Bercerita tentang perjalanan hidup Mariah, seorang wanita dari kalangan biasa yang terusir kehadirannya dari hidup Azhar suaminya dan Sofyan putra mereka. Ia kemudian terpaksa melanjutkan kehidupannya tanpa arah dan tujuan, sendirian di jalanan tanpa tempat untuk kembali, karena kedua orang tua Mariah telah meninggal, dan ia tidak memiliki sanak saudara. Diujung hidupnya yang penuh ketidak pastian dan penderitaan, satu-satunya hal yang dapat membuatnya bertahan adalah cintanya terhadap Sofyan putranya, bahkan setelah ia jatuh kedalam palung kehinaan paling dalam di hidupnya ia masih bertahan, dengan pengharapan kelak ia dapat bertemu dan mencurahkan rasa cintanya kepada Sofyan. Ulasan Terusir adalah sebuah novel yang bercerita tentang cinta, romansa kehidupan, dan permasalahan pelik yang menimpa sebuah rumah tangga yang hadir diakibatkan oleh sifat iri dan dengki, juga sebuah penggambaran secara nya

Cerpen: Persoalan Minta Minta

"Allahhu akbar.... Allahhu akbar....." dengan merdu Azan dilantunkan sang muazin, sebuah masterpiece, lantunan syair yang digumamkan tanpa alunan musik hanya bermodalkan pita suara, lebih merdu dibandingkan musik Mozart. Merdu, lantaran hanya mereka calon penghuni surgalah yang mampu menikmatinya -bukankah semakin sedikit penikmatnya semakin tinggi nilai hal tersebut- dan membuat mereka mampu melangkahkan kaki, melepaskan diri dari belenggu duniawi dengan segala gegap gempitanya. Sebuah panggilan akan deklarasi lemahnya sekaligus kuatnya seseorang yang menghamba kepada Allah. Lemah karena mereka tau bahwa mereka selalu hidup dalam ketergantungan, kuat karena mereka mampu memecah rantai belenggu dunia meski hanya sepersekian menit. Otong bergegas, berlari tunggang langgang menujur kamar dan segera berhadapan dengan almarinya. Digantinya pakaian main dengan kain sarung, songkok hitam dan baju koko putih, serta menjambret sajadah. Siap sedia dengan shalat