Sumber: https://www.deviantart.com/peterio/art/the-cage-143548745 |
Masih berada di tempat yang sama sejak hari itu, di sini aku terkurung dan hanya bisa memandangi orang-orang yang berlalu lalang dengan bebas mengarungi jalanan ibu kota dan memadati hiruk pikuk tempat perniagaan di pagi hari. Tenda-tenda yang berdiri sempoyongan di bibir jalan, kini bermandikan suara gemuruh teriakan, percakapan, langkah-langkah kaki manusia, hingga suara gemericik air yang jatuh menetes dari pepohonan, layaknya air mata kesedihan ku, yang hanya bisa terdiam di sini.
Meskipun begitu semua terasa baik-baik saja, baik-baik saja aku rasa, setidaknya hingga teriakan-teriakan itu terdengar;
"Aku mau itu"
"Harganya berapa?"
"Aku mau beli!"
Teriakan para pembeli yang terdengar seperti nyanyian yang menari di udara dan masuk ke telinga penjual itu, lebih layak disebut palu penghakiman bagi ku, karena itu menandakan kebebasan yang sudah tidak aku miliki akan berpindah tangan, berpindah bukan kembali kepada ku, tetapi kepada pemilik kebebasan lainnya.
Tiap harinya aku selalu dihadapkan dengan ketidakpastian akan kelanjutan nasib ku, akankah orang membeli ku dan kebebasan ku dipindahtangankan, akankah aku bertahan dan akhirnya membusuk dalam kurungan ini, terkukungkung selamanya di sini hingga hanya tersisa nama, atau akankah dia membuang ku karena nyatanya tidak ada keuntungannya lagi mempertahankan ku selain membuat kurungannya terisi. Aku memilih kata "membuang" karena "membebaskan" dan "kebebasan" tidaklah layak aku miliki, atau tidaklah mau aku miliki lagi.
Setelah beberapa hari terkurung dan menjadi tontonan sorot mata yang penuh cemooh itu, aku mulai sadar bahwa kebebasan hanyalah olok-olok belaka, kata hampa yang tidak berisi apa-apa melainkan hasrat manusia untuk berbuat sesukanya. Karena kebebasan hanyalah bagi mereka, mereka yang menciptakan kata itu bukan untuk menyuarakan kebenaran tapi untuk menciptakannya, mempercayainya lalu menghapus kebenaran yang sesungguhnya. Berdelusi dan membenturkannya dengan realita, meyejajarkannya hingga tidak ada yang bisa membedakan mana yang mana.
Aku sadar semua nasib ditentukan bukan oleh orang lain melainkan diri kita sendiri. Aku tahu bahagia dan menderitanya seseorang adalah pilihan orang itu, sebuah kehendak bebas yang dianugerahkan-Nya.
Aku tahu kala itu akulah satu-satunya pelaku yang membuat diri ku tertangkap. Tapi mana aku tahu jika memperlihatkan diri di depan orang berarti membuka kesempatan baginya untuk mengakhiri kebebasan ku. Mana aku tahu bahwa nyawa tidak lebih berharga dari harga sebongkah roti.
Pagi itu masih menari rupanya matahari di langit, orang-orang berdatangan silih berganti dengan berbagai tujuan, ada yang hanya mau melihat-lihat, ada yang memang ingin membeli kami, ada juga yang datang hanya untuk berdiri dan memandang dengan tatapan cemooh, seolah-olah menyukuri nasibnya yang tidak berakhir di balik kurungan seperti ku.
Hingga akhirnya dipenghujung hari tidak ada yang mau membeli ku, mungkin karena penampakan ku yang tidak rupawan, ini membuat orang hilang selera untuk memiliki ku. Penjual pun membuang ku dan menelantarkan ku. Keluarlah aku dari kurungan yang selama ini membelenggu ku. Kemudian ku bentangkan sayap ku sambil berkata kepada diri.
"Aku bukanlah budak, Aku burung yang bersayap, aku burung yang terbang, aku burung yang bernyanyi dan mewarnai hari, aku muak menjadi lambang kebebasan."
Komentar
Posting Komentar