Langsung ke konten utama

Jurnal: Kematianku

Sumber: pribadi


Malam ini saya tidak bisa tidur dan terjaga hingga larut malam. Saya sadar bahwa kebiasaan ini adalah seusatu yang harusnya tidak saya pelihara namun entah bagaimana caranya tidak bisa saya hindari. Saya sebenarnya mengetahui banyak sekali alasan supaya saya mau menghentikan kebiasaan buruk ini, namun hal itu tidak kunjung cukup untuk menyudahi penyiksaan diri yang tidak berkesudahan ini.

Lalu di tengah lantunan suara kipas angin di atas kepala dan kegerahan akan kebodohan sendiri, saya mulai membukai catatan-catatan yang pernah saya buat beberapa tahun yang lalu. Dulu saya gemar, atau boleh dibilang selalu memaksakan diri,  untuk menulis. Karena itu saya dapat melihat bahwa apa yang saya tulis biasanya lebih baik. Namun entah kenapa sekarang saya mulai malas untuk melakukan kegiatan yang selama ini sebenarnya saya sanjung.

Akibat dari kemalasan ini adalah mulai matinya diri saya. Saya berkata demikian karena menurut saya, hal yang membuat seorang hidup adalah bagaiman cara dia berpikir dan merasa. Dan menurut saya menulis dapat melatih kedua hal tersebut. Begitu pula yang dikatakan oleh banyak orang.

Saya ingat bahwa beberapa waktu belakangan saya mencoba untuk membaca lebih banyak dan mendengarkan lebih banyak. Awalnya hal ini saya lakukan guna meningkatkan pengetahuan diri dan menambahkan reverensi dalam berpikir. Namun apalah artinya pengetahuan jika tidak digunakan. Tidaklah akan berbahaya sebuah senjata bila hanya ditidurkan di dalam gudang persenjataan. Senjata-senjata tersebut harusnya dibawa keluar dan beraksi, sebagaimana tujuan dari pembuatan senjata tersebut.

Seperti apa yang saya dikatakan di atas, bukannya menggunakan senjata yang selama ini sudah susah payah saya himpun. Saya malah menguncinya dalam-dalam dan membuatnya tertidur dalam kegelapan. Membunuhnya secara perlahan dengan cara mendiamkannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen: Hasrat

Sesungguhnya manusia adalah mahluk paling tidak sempurna, bohong bila manusia dikatakan adalah mahluk yang paling sempurna, karena nyatanya banyak dari mereka yang sering merasa kekurangan dan terus meminta untuk lebih dan lebih, namun dengan penuh rasa kesombongan mereka mampu menyebut diri mereka sebagai mahluk paling sempurna. Bahkan di masa awal peradaban, nenek moyang dan para leluhur mereka berani menyebut diri sebagai homo sapiens sapiens atau manusia yang bijaksana, karena mereka merasa kurang puas hanya dengan menyebut diri mereka sebagai homo sapiens, yang sebenarnya juga merupakan nama pemberian mereka sendiri. Bahkan dalam peradaban yang bisa dibilang paling maju sekarang, dengan penemuan paling mutakhir, tidak pernah ada kesempurnaan setidaknya serperti yang diinginkan mahluk yang memenuhi muka bumi ini, segalanya selalu saja tidak pernah cukup, tidak pernah sempuna, selalu ada celah untuk mencari ketidak sempurnan itu.  -  malam itu gelap gulita, keheningan

Ulasan Novel Terusir Karya Buya Hamka

Ulasan mengenai novel terusir Judul Novel Terusir Penulis Buya Hamka Sinopsis Bercerita tentang perjalanan hidup Mariah, seorang wanita dari kalangan biasa yang terusir kehadirannya dari hidup Azhar suaminya dan Sofyan putra mereka. Ia kemudian terpaksa melanjutkan kehidupannya tanpa arah dan tujuan, sendirian di jalanan tanpa tempat untuk kembali, karena kedua orang tua Mariah telah meninggal, dan ia tidak memiliki sanak saudara. Diujung hidupnya yang penuh ketidak pastian dan penderitaan, satu-satunya hal yang dapat membuatnya bertahan adalah cintanya terhadap Sofyan putranya, bahkan setelah ia jatuh kedalam palung kehinaan paling dalam di hidupnya ia masih bertahan, dengan pengharapan kelak ia dapat bertemu dan mencurahkan rasa cintanya kepada Sofyan. Ulasan Terusir adalah sebuah novel yang bercerita tentang cinta, romansa kehidupan, dan permasalahan pelik yang menimpa sebuah rumah tangga yang hadir diakibatkan oleh sifat iri dan dengki, juga sebuah penggambaran secara nya

Cerpen: Persoalan Minta Minta

"Allahhu akbar.... Allahhu akbar....." dengan merdu Azan dilantunkan sang muazin, sebuah masterpiece, lantunan syair yang digumamkan tanpa alunan musik hanya bermodalkan pita suara, lebih merdu dibandingkan musik Mozart. Merdu, lantaran hanya mereka calon penghuni surgalah yang mampu menikmatinya -bukankah semakin sedikit penikmatnya semakin tinggi nilai hal tersebut- dan membuat mereka mampu melangkahkan kaki, melepaskan diri dari belenggu duniawi dengan segala gegap gempitanya. Sebuah panggilan akan deklarasi lemahnya sekaligus kuatnya seseorang yang menghamba kepada Allah. Lemah karena mereka tau bahwa mereka selalu hidup dalam ketergantungan, kuat karena mereka mampu memecah rantai belenggu dunia meski hanya sepersekian menit. Otong bergegas, berlari tunggang langgang menujur kamar dan segera berhadapan dengan almarinya. Digantinya pakaian main dengan kain sarung, songkok hitam dan baju koko putih, serta menjambret sajadah. Siap sedia dengan shalat